Cerpen Romantis - Karena Kau Cermin Hidupku

Cerpen Romantis - Karena Kau Cermin Hidupku ~ Cerpen yang mengandung Kisah Romantisnya Cinta yang mungkin menarik untuk Sobat semua mencoba untuk membacanya. Cerpen Romantis ini bisa dijadikan sebagai sumber pengalaman Cinta sobat semua. Simak di bawah ini untuk Cerpen Romantis - Karena Kau Cermin Hidupku di bawah ini :

Cerpen Romantis - Karena Kau Cermin Hidupku
Shadaqallahul adzim…” kuakhiri tilawahku setelah hampir setengah juz kubaca dengan lirih. Bagiku tiada yang lebih nikmat selain membaca aya-ayat cinta Allah ini, membaca satu ayat saja sudah membuatku begitu tenang luar biasa. Kulirik arloji ditangan, waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 sore, aku memang tidak ada kuliah lagi hari ini, tapi aku masih bertahan di mesjid kampus ini demi menunggu seseorang.
assalamualaikum akhi” sebuah sapaan hangat khas ikhwan terdengar jelas. Aku begitu mengenal suara itu, ya itu adalah suara dari seseorang yang sudah sedari tadi kutunggu.
waalaikum salam ya akhi” sahutku seraya berdiri untuk menyambut jabat tangan dan memeluknya dengan hangat. Setelah itu kami segera mencari posisi yang nyaman untuk mengobrol sambil memesan sepiring siomay yang kebetulan tukang siomay-nya berjualan dekat mesjid ini.
Sembari menunggu pesanan datang, kami mengisi obrolan dengan menanyakan kabar masing-masing, yah maklum..sudah hampir seminggu ini kami tidak bertemu, padahal masih satu universitas tapi kesibukan kuliah dan amanah dakwah membuat kami hanya sempat bersilaturahmi dengan menggunakan faslitas SMS. Tak lama akhirnya pesanan kami datang, tanpa pikir panjang kami langsung melahap makanan favorit kami sejak awal kuliah itu.
Wan, menurutmu aku sudah pantas ga sih kalo menikah dalam waktu dekat ini?” Tanya Farid, nama temanku itu. Pertanyaan Farid hampir membuatku mengeluarkan isi makanan dari mulutku, jelas saja wong aku kaget ga ada angin ga ada hujan, seorang Farid bertanya tentang kepantasannya menikah sekarang? Farid segera mengambilkan air minum dan menyerahkannya padaku, pasti lucu sekali raut wajahku saat ini. Setelah hampir setengah gelas air kuminum, aku sudah merasa lega dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan Farid.
antum mau menikah sekarang akhi? Siapa gadis yang rela dinikahi sama antum”? tanyaku sambil bercanda.
sembarangan antum ini, justru wanita yang bakal nikah sama aku itu akan sangat beruntung karena diperistri oleh ikhwan seganteng dan secerdas aku tau” jawab Farid dengan ekpresi wajah seolah membanggakan diri. Tawa kami lepas seketika, tak lama aku kembali mencoba memastikan bahwa pertanyaan Farid tentang pernikahan tadi benar-benar serius atau tidak.
antum serius nih mau nikah sekarang? Udah siap lahir bathin belum?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang serius. Bagiku pernikahan seuatu yang tidak boleh digampang-gampangkan.
Insya Allah siap Wan, kan kuliahku tinggal 2 semester lagi, aku juga sudah punya sumber penghasilan, yah kecil sih tapi lumayan lah, setidaknya istriku nanti tidak akan kelaparan, apalagi yang aku tunggu? Bukankah kata Rasulullah, jika seorang pemuda sudah punya persiapan matang untuk menikah, tidak perlu harus menunda-nunda pernikahan kan?” jawab Farid, kulirik wajah Farid, mencoba melihat sisi kegokilannya, tapi nihil…sepertinya Farid kali ini benar-benar serius dengan pernyataannya.
Murabbi antum sudah tahu? Terus sudah punya calon?” pertanyaanku seperti seorang polisi yang menginterogasi pelaku kriminal.
belum sih, tapi Insya Allah dalam waktu dekat ini, kalau calon…Insya Allah juga sudah, tapi wallahualam calonku itu mau menerima pinanganku atau tidak, tapi aku berusaha ikhtiar. Sekarang tinggal komunikasi dengan orang tua, semoga saja mereka mau menerima keputusanku ini” jawab Farid lagi dengan penuh keyakinan.
Pikiranku segera bermain, siapa kira-kira sosok muslimah yang akan dijadikan calon pendamping hidup seorang Farid, ikhwan yang sejak SMA sudah aktif menjadi penggiat dakwah keislaman di sekolah, sampai kuliah pun amanahnya semakin banyak dan strategis. Farid..sosok sahabat dan saudara yang luar biasa bagiku, dari ketulusannya aku akhirnya memutuskan untuk mengubah seluruh sisi kehidupanku dengan prinsip-prinsip keislaman yang benar. Jika sekarang Farid mau menikah, pastilah calon pendampingnya juga sosok yang tidak biasa, minimal juga seorang aktivis dakwah yang mempunyai mobilitas yang tinggi seperti dirinya.
boleh tau ga’ siapa calonmu itu akh?” aku memberanikan diri bertanya pada Farid, rupanya saat pikiranku melanglang buana, Farid sudah menyelesaikan makan siomay-nya. Dasar…!!
afwan akh, kali ini aku belum bisa ngasih tahu siapa dia, yang pasti dia juga aktivis seperti aku dong, Insya Allah dia akan menjadi pendamping terbaikku dunia dan akhirat” jawab Farid lagi.
nanti setelah aku ngomong sama Murabbi, aku mau rutin sholat istikharah, biar lebih mantap” tambah Farid sambil membersihkan sisa-sisa makanan dimulutnya.
Tak terasa, adzan sholat Ashar berkumandang, aku dan Farid diam dengan khidmat untuk menikmati panggilan cinta dari Allah ini, sambil dengan suara lirih menyahut setiap panggilan adzan sesuai dengan yang disunnahkan Rasulullah. Farid segera mengambil air wudhu di belakang, sedangkan aku karena masih dalam keadaan suci segera masuk mesjid untuk melakukan sholat sunnah sebelum ashar. Selesai sholat berjamaah dan bertilawah bersama, aku dan Farid berpisah, Farid ada jadwal les privat sore ini, sedangkan aku harus ke mushola fakultas karena akan ada syuro kegiatan Rohis. Setelah berjabat tangan, Farid langsung menuju tempat parkir untuk mengambil motornya, sedangkan aku hanya berjalan kaki karena jarak mesjid dengan kampusku tidak terlalu jauh.
Aku masih belum bisa memejamkan mata, padahal waktu dikamar kost ini sudah menunjukkan pukul 11 malam. Masih terngiang di benakku tentang perkataan Farid siang tadi, sebuah keputusan besar untuk menyempurnakan separuh agamanya, yaitu menikah ! tiba-tiba muncul pertanyaan konyol di otakku, “kenapa kau tidak memutuskan hal yang sama seperti Farid Wan? Kuliahmu tinggal sebentar lagi, penghasilan? Orangtuamu kan kaya, punya beberapa perusahaan cabang, kau bisa meminta salah satu perusahaan mereka untuk ditangani, apalagi yang kau tunggu? “ suara hatiku mulai berorasi, mencoba untuk memancing emosiku. Hatiku benar, aku juga seharusnya sudah siap untuk menyempurnakan agamaku sekarang, studi dan penghasilan rasanya tidak terlalu menjadi beban bagiku. Meski aku memutuskan hidup mandiri dan tanpa fasilitas selain biaya kuliah, Papa sudah sangat berharap begitu aku lulus, aku akan menangani salah satu anak perusahaannya dibidang tekstil. Semenjak aku memutuskan untuk hijrah, aku dan Farid selalu bersaing untuk menjadi muslim terbaik atau fastabiqul khairat, meski aku sadar tidak mungkin untuk menyaingi Farid yang sudah lebih dulu berhijrah. Jika kali ini Farid dengan optimis berani untuk menikah ditengah kondisi yang sangat sederhana, kenapa aku tidak? . tapi tidak…aku mencoba menyingkirkan pikiranku yang konyol itu, pernikahan bukan sesuatu yang pantas dijadikan medan pertarungan amal, perlu kesiapan fisik dan mental. Pernikahan bukan sekedar mengucapkan ijab Kabul dan menghalalkan cinta dua orang manusia, tapi juga menjadikan pernikahan itu sebagai gerbang untuk melahirkan peradaban, generasa rabbani dan madani. Apalagi tugas seorang laki-laki dalam pernikahan bukan tugas yang mudah, menjadi imam bagi seorang istri dan ayah bagi anak-anak kelak, suatu pertanggungjawaban yang berat dihadapan Allah nanti, jika aku tidak bisa menjadi imam dalam keluargaku sendiri, apa yang harus kukatakan pada Allah akhirat kelak? Ya Rabb…apa yang sedang kupikirkan ini? Tak lama aku segera beristighfar, mecoba untuk menetralisir hati, meski begitu aku tetap tidak bisa memejamkan mata dan akhirnya memutuskan untuk berwudhu dan menghabiskan malam ini dengan sholat dan dzikir.
Aku baru terbangun ketika adzan subuh sudah berkumandang, rupanya ditengah dzikir tadi tanpa sadar aku tertidur. Meski hanya beberapa menit, aku baru ingat bahwa tadi aku sempat bermimpi. Ya..mimpi yang cukup aneh, aku sedang berada dihadapan laki-laki sambil menjabat tangannya dengan erat, dengan sabar aku dituntun untuk mengikuti ucapan laki-laki itu, dan aku menurut saja, tak jelas juga apa yang kuucapkan, tapi samar-samar kalimat yang terdengar adalah seperti kalimat yang diucapkan mempelai laki-laki dalam setiap akad nikah! Tak lama setelah itu, aku menghampiri sosok wanita yang begitu anggun berbalut pakaian pengantin berwarna putih, sangat tertutup dan mengenakan jilbab putih yang indah sekali, dengan khidmat dia mencium tanganku dan akupun membalas dengan mencium keningnya. Semua orang yang berada disana bersorak dan tanpa henti terus mengumandangkan sholawat, diantara mereka ada sosok yang begitu kukenal, Farid..dia tersenyum dengan penuh ketulusan padaku, tapi dia sendirian tanpa ditemani bidadarinya. Setelah itu semua pemandangan tiba-tiba tertutup kabut tebal dan suara adzan-lah yang berhasil menyadarkanku. Aku masih belum bisa melupakan mimpi tadi, apakah itu petunjuk bahwa aku juga sudah siap untuk menyempurnakan agamaku? Melakukan hal yang sama seperti Farid?
antum sudah yakin Wan untuk menikah sekarang?” Tanya Mas Fajar, murabbi yang sudah 2 tahun ini menangani ketarbiyahanku. Aku terdiam sejenak dan sambil menghela nafas panjang, aku melihat wajah Mas Fajar dan menganggukkan kepala dengan optimis, tanda bahwa aku sudah siap untuk menyempurnakan agama ini. Hal ini sudah kupikirkan dengan matang, sejak mimpiku kemarin, tentu saja dengan disertai sholat istikharah untuk lebih memantapkan hati. Dalam beberapa hari itu, aku juga sudah memikirkan siapa calonku nanti, bukan bermaksud memilih-milih, tapi sejak awal aku sudah mempunyai keriteria untuk calon pendampingku nanti, dan kini saat aku memutuskan untuk menikah, sosok itu sudah ada didepan mata, tinggal diproses saja lagi, dan lagipula Islam tidak melarang siapapun untuk menentukan pasangan hidupnya.
siapa calon yang sudah antum persiapkan? Semoga bukan karena adanya kecenderungan, ingat menikah artinya membangun sebuah peradaban baru bagi umat ini” kata Mas Fajar lagi. Usia Mas Fajar hanya terpaut 3 tahun diatasku, tapi kedewasaan dan kewibawaannya sebagai murabbi sangat luar biasa, sudah menikah dan kini punya 2 orang anak. Tausiyah-tausiyah Mas Fajar begitu menyejukkan hati, beliau dengan telaten berusaha menjaga dan mendidik binaanya dengan baik, beliau juga mahir dalam pembentukan karakter setiap binaannya, jadi tidak heran siapapun ikhwan yang jadi binaannya biasanya selalu menjadi sosok-sosok yang mempunyai amanah strategis. Dan untuk masalah pernikahan, satu hal yang sangat ditekankan Mas Fajar adalah menikah karena Allah, kecantikan dan pangkat seorang wanita tidak boleh dijadikan tolak ukur pertama, ketika menikah maka faktor utama yang harus ada adalah kemaslahatan bagi umat, seperti pernikahan Rasulullah. Ucapan Mas Fajar itu bukan sekedar wacana, beliau sudah membuktikannya, sosok wanita yang sekarang menjadi istrinya jika dilihat dari fisik sama sekali tidak ada kata ideal, usianya sudah hampir kepala tiga, lebih tua 5 tahun diatas Mas Fajar, tidak pula kaya, bahkan Mba Wiwid, namanya, berasal dari keluarga yang amat sederhana bahkan keluarga besar, mempunyai adik 7 orang yang masih bersekolah. Laki-laki normal mungkin tidak akan tertarik sama sekali dengan Mba Wiwid ini, tapi berbeda dengan Mas Fajar yang lebih melihat dari sisi yang lain, yaitu kemaslahatan bagi umat. Yang membuat sosok Mba Wiwid menjadi luar biasa dimata Mas Fajar adalah keberhasilannya menjadikan keluarga besarnya seperti keluarga Amar bin Yasir. Orangtuanya telah memahami prinsip keislaman, begitu pula adik-adiknya yang samuanya berhasil terbina dengan sistem tarbiyah sejak Mba wiwid memutuskan untuk hijrah menjadi muslimah sejati. Meski harus berjuang mempertahankan Mba Wiwid sebagai calon pendamping dihadapan keluarga besarnya, akhirnya Mas Fajar berhasil meyakinkan terutama orangtuanya tentang sosok Mba Wiwid, Mas Fajar optimis dari pernikahannya nanti akan lahir generasi-generasi yang semangat mengibarkan panji-panji Allah.
Kembali pada permasalahanku, tentang calon pendamping, aku sudah yakin untuk berproses dengannya. Tentang kemaslahatan bagi umat, Insya Allah dia akan menjadi ladang amalku nanti, dia akan menjadi bidadariku dunia dan akhirat serta menjadi ibu bagi mujahid dan mujahidahku kelak.
Insya Allah sudah Mas, namanya Wulan, masih kuliah setingkat dengan saya, dia memiliki mobilitas dakwah yang tinggi, meski begitu dia masih menyadari batas-batas ketika nanti sudah menikah” jawabku pada Mas Fajar.
darimana antum tahu tentang itu, memangnya sudah pernah mengkomunikasikan ini sebelumnya dengan akhwat itu” selidik Mas Fajar padaku
enggak Mas, kebetulan dia pernah diwawancarai oleh bulletin dakwah kampus, selain mempertanyakan aktivitasnya yang padat, dia juga ditanya tentang komitmen jika nanti sudah menikah” jawabku dengan tegas, memang benar ko’…aku kan pembaca setia bulletin itu.
semoga antum memilihnya tanpa ada kecenderungan sebelumnya, Insya Allah akan segera ana urus, sekarang yang perlu antum lakukan adalah lebih menggiatkan diri dalam amal harian, sholat malam dan istikharah, agar antum siap menerima apapun keputusan akhir nanti” pesan Mas Fajar padaku. Aku mengangguk tanda mengerti dan langsung berpamitan padanya. Sekarang yang perlu aku lakukan juga adalah mengabarkan ini pada papa dan mama, juga Farid, dia harus tahu bahwa dalam hal ini aku pun tidak ketinggalan ber-fastabiqul khairat dengannya. Segera kuraih hp-ku dan mengetik beberapa kata lalu ku-send ke nomor Farid.
Deru suara motor Farid terdengar memasuki halaman mesjid kampus, begitu melihatnya meski dari jauh, aku merasakan aura yang tak biasa dari sosok Farid, dengan langkah santai dan wajah penuh keoptimisan, Farid segera menghampiriku yang dari tadi duduk di teras mesjid.
Assalamualaikum akhi Darmawan” sapa Farid dengan menyebut nama panjangku, tuh kan..ada yang tak biasa darinya.
waalaikum salam akhi Farid” sahutku pula dengan senyum dan tangan kami saling berjabatan. Setelah sama-sama menanyakan kabar masing-masing, aku mulai membicarakan inti dari pertemuan kami hari ini.
gimana dengan perkembangan rencana menikah antum akh? Lancar-lancar saja atau masih ada halangan” tanyaku dengan hati-hati.
Alhamdulillah luar biasa baik Wan, murabbi-ku sudah mengurusnya, orangtua juga berkenan merestui, sekarang tinggal calonnya tuh, mau apa ga’?” jawab Farid sambil tertawa kecil.
seingatku, kemarin yang namanya Farid optimis banget untuk menikah, katanya tidak ada wanita yang sanggup menolak pinangan seorang ikhwan yang ganteng dan cerdas seperti dirinya. Sekarang kenapa tiba-tiba pesimis begitu” kataku dengan nada bercanda. Mendengar kalimatku tadi, Farid membalasnya dengan pukulan halus ke pundakku. Tawa kami pecah seketika.
aku masih optimis Wan, tapi apapun keputusan akhir nanti, aku akan berusaha ikhlas, kalau pinanganku ditolak dengan alasan yang syar’I, maka aku harus siap mencari penggantinya, aku tidak mau membelokkan niatku menikah ini, aku menikah untuk menyempurnakan separuh agama, lillahi ta’ala” sahut Farid lagi. Ya Allah…betapa beruntungnya aku memiliki saudara seperti Farid, dia benar-benar cermin kehidupanku, Farid sosok yang selalu berusaha ikhlas dengan ketentuanNya, berbeda sekali denganku yang meski sudah hijrah, masih sering menuntut yang macam-macam pada Allah. Bahkan mungkin aku tidak akan sanggup menandingi Farid dalam hal amal apapun, karena dia akan selalu berada di depanku.
sesaat kami diam, entah terbang kemana pikiran kami sekarang, aku masih menunggu detik yang tepat untuk menyampaikan kabarku sendiri padanya. Setelah kurasa Farid berhasil mengontrol perasaannya, aku memulai percakapan baru tentang diriku.
Akhi, sebenarnya aku juga mau menyampaikan sesuatu yang sangat penting, setelah kupikir-pikir, Insya Allah aku juga berniat mengikuti langkahmu untuk menyempurnakan separuh dien ” ucapku pada Farid. Mendengar itu, Farid melihat ke arahku dengan ekpresi wajah yang terkejut luar biasa
maksudmu, kamu juga mau menikah?” Tanya Farid seolah tak percaya
Insya Allah, kupikir orang seperti kamu yang masih kuliah dengan penghasilan seadanya saja sudah berani memutuskan menikah, masa iya aku ga’ berani? “ jawabku dengan penuh keyakinan.
terus..calonnya udah ada belum? Tapi ntar waktu nikahnya jangan barengan ya, soalnya aku mau pas menikah, aku benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang kecuali akhwat, he..he..” tawa Farid sembari melepaskan pandangan ke arah depan mesjid
Insya Allah sudah ada, tapi sama kayak kamu, ga’ bakal aku kasih tahu dulu, kalo soal waktu nikah, mungkin nanti malah aku duluan yang walimahan. Yang pasti kita sama-sama berdo’a semoga Allah meridhoi dan memudahkan semuanya” balasku pada Farid. Kami berdua sama-sama mengamini dan setelah itu kami mengalihkan topik pembicaraan, kali ini tentang perkembangan dakwah di fakultas kami masing-masing.
****
Aku baru mau melangkahkan kaki meninggalkan mesjid setelah selesai sholat Ashar, tiba-tiba Farid datang dengan motornya. Dengan langkah tergesa-gesa dan wajah yang merah padam, Farid mendatangiku dan tanpa mengucapkan salam terlebih dulu dia langsung mencecar dan menumpahkan kekesalannya padaku.
kamu keterlaluan Wan, ini balasanmu atas persaudaraan kita selama ini? Selama ini aku selalu ikhlas memberikan apa yang aku punya buat kamu, dan seperti ini kamu membalasnya?” Bentak Farid dengan nada yang sangat ketus. Selama mengenal Farid, belum pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ketus ataupun yang tidak enak didengar darinya, dan belum pernah pula kulihat Farid semarah ini. Farid hanya akan marah bila melihat kemungkaran atau penindasan kaum muslim di Palestina, Bosnia dan negeri-negeri muslim yang lain. Jelas sekali kulihat raut wajah penuh kekecewaan pada Farid, aku berusaha tenang dan mengingat-ingat hal apa yang sudah kulakukan sampai membuat saudaraku ini marah luar biasa, tapi tidak bisa.
istighfar akhi, afwan jiddan..aku ga’ ngerti apa maksud kamu, tolong jelaskan ada hal apa yang sudah kulakukan sampai membuat kamu kesal seperti ini?” tanyaku pelan sambil terus beristighfar pula dalam hati.
awalnya aku bisa mengerti kenapa kamu juga ikut-ikutan memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat ini, kupikir itu karena kamu memang sudah layak dan siap untuk menyempurnakan dien ini. Tapi ternyata aku salah, kamu mau menikah karena tidak mau membiarkan calon pendamping incaran kamu diproses dan dipinang oleh ikhwan lain kan?bahkan oleh aku sekalipun” jawab Farid masih dengan nada ketus. Ya Rabb…apa yang membuat Farid sampai tega berprasangka buruk seperti itu padaku? Aku mau menikah sekarang semata-mata karena aku juga merasa sudah siap.
apa maksud kamu? Aku benar-benar belum mengerti akhi. Aku menikah karena memang termotivasi oleh kamu, selain itu juga aku memang sudah siap untuk menikah, sebenarnya apa sih masalah kamu?” tanyaku lagi mencoba mencari jawaban atas sikap Farid saat ini.
kamu tau, akhwat yang sedang kuproses sekarang adalah Wulan, tapi baru saja aku mendapat kabar dari murabbi-ku bahwa ada ikhwan lain yang ternyata juga sedang berproses dengannya, dan waktu kami bersamaan. Awalnya aku bisa terima karena kupikir sosok Wulan memang menjadi calon ideal bagi seorang ikhwan, siapapun ikhwan itu. Aku pun mencoba menanyakan kepada murabbi siapa ikhwan lain itu, dan betapa aku tidak menyangka, ikhwan sainganku itu ternyata kamu Wan, sahabat dan saudara yang sangat aku percaya akan ketulusanmu selama ini.” Jawab Farid lagi dengan nada lirih. Aku diam seribu bahasa, lidahku rasanya kelu untuk membalas kata-kata Farid. Aku pun terkejut dan tidak menyangka kalo selama ini akhwat yang didambakan Farid adalah Wulan, dia sama sekali tidak pernah cerita apa-apa padaku, andai aku tahu itu maka demi Allah aku akan dengan ikhlas mundur dan mencari calon yang lain.
sekarang kita adalah rival, kita bersaing secara sehat siapa yang akan dipilih Wulan. Aku tahu secara materi aku kalah telak darimu Wan, tapi secara ilmu..jelas aku lebih tinggi darimu karena aku lebih dulu hijrah daripada kamu. Semoga saja Wulan lebih menjadikan pendamping yang kaya akan ilmu sebagai faktor utama daripada kekayaan materi” ucap Farid lagi dan tanpa salam dia pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih diam terpaku. Masih jelas kudengar suara raungan motor Farid yang cukup keras ketika pergi tadi, tidak sepelan biasanya.
Malamnya, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata, rasanya dadaku masih sesak karena tuduhan dan prasangka dari Farid tadi. Aku mencoba menenangkan perasaanku sendiri dan kuputuskan untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunah beberapa rakaat sampai waktu sepertiga malam nanti. Hampir 3 jam aku bertafakur dan merenungkan semuanya, sajadahku sudah basah dengan air mata saat tiba waktu sujud. Ya Rabb..benarkah yang tadi siang itu benar-benar Farid sahabatku? Aku seperti tidak mengenalnya. Sosok Farid yang biasanya tenang dan pandangannya yang teduh tiba-tiba berubah menjadi sosok yang temperamental, Farid yang biasanya selalu berprasangka baik bahkan pada orang-orang yang tidak menyukainya seketika bisa berprasangka buruk pada saudaranya sendiri? Farid yang biasanya tidak suka bila dipuji tiba-tiba mampu menyombongkan ketinggian ilmunya dari orang lain, dan semua itu terjadi hanya karena permasalahan calon pendamping kami yang sama? Ya Rabb..ampunilah aku jika Farid berubah seperti itu karena kekhilafanku, mungkin memang perasaanku yang belum peka terhadap apa yang dirasakan Farid selama ini, berikan petunjukMu ya Allah untuk kebaikan kami bersama, doaku sambil tak hentinya air mata ini mengalir.
antum sudah yakin dengan keputusan antum ini” Tanya Mas Fajar mencoba meyakinkan dirinya atas keputusan yang telah kusampaikan. Setelah hampir seminggu aku berusaha memecahkan masalah ini dengan qiyamul lail dan sholat istikharah, juga dzikir yang semakin panjang, aku sudah memutuskan untuk mundur dari proses pernikahanku dengan Wulan. Aku tidak mau kehilangan seorang saudara seperti Farid, biarlah aku yang mundur asalkan dia bahagia, untuk calonku sendiri aku menyerahkan semuanya pada Mas Fajar, aku ingin beliau yang memilihkan untukku, siapapun dan bagaimanapun kondisinya aku akan terima dengan ikhlas.
Insya Allah yakin Mas, saya sudah yakin bahwa inilah petunjuk dari Allah yang terbaik untuk saya, saya percaya sama Mas untuk masalah calon pendamping ini, juga supaya niat saya menikah tidak berbelok, benar-benar karena Allah dan untuk kemaslahatan dakwah ini” jawabku dengan mantap. Mas Fajar tersenyum lebar padaku, seperti sebuah senyum tanda bahwa beliau bangga mempunyai binaan seperti aku. Sepulang dari rumah Mas Fajar, aku meraih hp-ku dan mengetikkan beberapa kata untuk ku send ke Farid, semoga kali ini bisa berpengaruh karena sejak pertengakaran kami kemarin Farid benar-benar susah untuk dihubungi, tiap kali aku berusaha meneleponnya pasti langsung di-reject, bahkan SMS saja tidak pernah dibalas.
Ass..akhi Farid, kl ini ana bnr2 berhrp antum dtg ke mesjid Al Falah utk bertemu dg ana, Insya Allah apa yg ana bicarakan ini penting! Ana tnggu dr skrng, demi Allah ana tdk akan pergi dr mesjid sblm antum datang, mskipun ana hrs tunggu berhari-hari”
Sambil mengucapkan bismillah, kukirimkan pesan singkat itu ke nomor Farid, aku akan benar-benar nekat menunggunya di mesjid ini. Sambil menunggu Farid, aku terus berdo’a semoga Wulan akan menerima keputusanku ini, dia memang wanita yang luar biasa dan lebih pantas bersanding dengan Farid yang juga luar biasa. Malam sudah menjelang, Farid belum juga datang, SMS-ku juga belum dibalas, tapi aku tidak akan menyerah…aku akan tetap menunggunya meski aku harus menginap di mesjid ini.
Waktu di arlojiku sudah menunjukkan pukul 11 malam, untung mesjid ini terbuka 24 jam, biasanya dipakai oleh mahasiswa yang begadang mengerjakan tugas atau praktikum di kampus. Aku sudah hampir putus asa menunggu Farid datang. Tak henti bibirku melafadzkan zikir dan istighfar, tak lama kemudian terdengar deru suara motor yang begitu kukenal, ya..itu suara motor Farid, ya Allah semoga itu benar Farid. Aku segera menghambur keluar untuk memastikan bahwa yang datang itu adalah Farid dan ternyata benar. Dengan langkah santai Farid mendatangiku sambil tersenyum hangat, senyum itu begitu kurindukan, senyum yang penuh dengan ketulusan.
assalamualaikum akhi Darmawan, afwan jiddan..aku baru selesai les privat tambahan, capek banget..afwan juga ga’ balas SMS antum, lagi ga’ ada pulsa” sapa Farid seraya menjelaskan keterlambatannya. Dia meraih dan menjabat tanganku, kurasakan jabatan tangannya terasa hangat sekali, dia datang seperi biasanya seolah tidak sedang terjadi apa-apa diantara kami.
waalaikum salam akhi, ana kira antum ga’ akan datang, syukron sudah mau menemui ana lagi” jawabku polos, aku masih bingung dengan perubahan sikap Farid yang sekarang. Kami lalu mencari posisi duduk yang nyaman di teras mesjid, sambil memandangi indahnya langit malam yang penuh dengan bintang, aku langsung pada inti yang ingin kusampaikan padanya.
mana mungkin aku membiarkan saudaraku sampai harus menginap di mesjid berhari-hari, itu tidak mungkin akhi. Ngomong-ngomong hal penting apa yang mau kau sampaikan? Tentang hari pernikahanmu ya? Wah..barakallah deh! “ ucap Farid sambil tertawa kecil namun tulus. Aku yang tadinya tegang sekarang lega rasanya melihat sikap Farid yang kembali ramah seperti biasanya.
hmm..bukan akhi,hal yang mau ana sampaikan adalah ana sudah memutuskan untuk mundur dari proses ini, ana sadar antum memang jauh lebih pantas mendapatkan bidadari seperti Wulan, ana juga tidak mau berlama-lama jauh dari antum seperti ini. Tidak sanggup rasanya jika ana kehilangan sosok saudara seperti antum akhi” ucapku dengan lirih. Farid terdiam dan pandangannya masih belum beranjak dari atas langit, entah apa yang dipikirkannya sekarang, semoga saja kali ini dia tidak lagi berprasangka apa-apa padaku.
sebelum kamu bilang ini, aku sudah memutuskan untuk mundur akhi, mungkin lebih dulu daripada kamu. Aku sadar atas kekhilafanku, aku malu atas sikapku kemarin itu, sampai aku bisa menyombongkan bahwa ilmuku sudah lebih tinggi dari kamu, padahal siapa yang bisa menjamin itu semua? Bukankah hanya Allah yang berhak untuk menilai siapa hambaNya yang paling terbaik? “ sahut Farid sambil melirik ke arahku, masih dengan senyum hangatnya, Farid kembali mengulurkan tangannya padaku, tanpa perlu waktu lama aku meraihnya dan menjabatnya erat. Kami pun berpelukan dan kurasakan pundakku sedikit basah, terkena air mata dari Farid yang masih erat memelukku seoleh tidak mau melepaskannya.
jika ana diminta memilih 1000 orang bidadari dengan antum, ana tidak perlu waktu walau sedetik pun unutk memilih antum akhi, bidadari banyak bertebaran di bumi, tapi kalau seorang Farid, hanya ada satu diantara jutaan manusia yang ada didunia ini” ucapku lagi pada Farid setelah kami saling melepas pelukan penuh ukhuwah ini. Farid tersenyum dan kami bertekad kembali ber-azzam akan menjaga keutuhan persaudaraan ini, apapun yang akan terjadi nanti.
Ya Allah, malam ini Engkau kembali menjadi saksi atas persaudaraanku dengan Farid, kuatkan lagi ikatan hati kami ya Allah..Amin.
dan kau tahu Wan, walau aku memutuskan mundur bukan berarti aku berhenti untuk meneruskan niatku menikah, aku sudah menyerahkan pada murabbi-ku, dan akhirnya aku sekarang sudah mendapatkan calon pendamping, Insya Allah lebih baik, bulan depan aku akan silaturahmi ke keluarganya, tolong do’akan” ucap Farid dengan senyum kebahagiaan.
insya Allah akhi, ana akan selalu berdo’a untuk antum, always…” jawabku tulus.
****
saya terima nikahnya Wulan binti Ahmad Yusuf dengan mahar seperangkat alat sholat dan sebuah kitab suci Al qur’an dibayar tunai” ucapku dengan lancar tanpa terbata-bata. Aku baru selesai mengucapkan akad nikahku hari ini, aku tidak perlu memberi tahu kan siapa wanita yang sudah sah menjadi mujahidahku ini? Aku memang meminta Mas Fajar yang mengurus semuanya termasuk calon, dan memang diantara sekian banyak calon, beliau memilih Wulan yang katanya pantas untuk disandingkan denganku, entahlah mungkin ini juga skenario dari Allah. Saat ta’ruf dengan Wulan, sebelumnya kupastikan bahwa tidak ada ikhwan lain selain aku yang memintanya. Dan Farid? Dia kembali mendahuluiku, bahkan dalam hal pernikahan, istrinya jauh lebih tua 3 tahun darinya, tapi ada hal istimewa dari istrinya yang membuat Farid tidak perlu waktu lama untuk memantapkan hatinya memilih akhwat tersebut menjadi istrinya. Benar-benar pernikahan cerminan dari Rasulullah dan generasi para sahabat. Ya Rabb…betapa indahnya skenarioMu ini, semoga persaudaraan ini abadi di dunia dan akhirat…Amin…
More aboutCerpen Romantis - Karena Kau Cermin Hidupku

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak ~ Cinta yang terkuak dalam Cerpen yang berjudul "Cinta Dalam Sepiring Rujak". langsung saja di baca Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak di bawah ini :

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak
Aku bergegas berjalan menuju mesjid kampus, jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 16.20 wita, aku masih punya waktu untuk menunaikan sholat ashar dulu sebelum rapat yang akan dimulai pukul 16.30 wita. Aku segera menuju tempat wudhu pria di belakang mesjid, kubasuhkan air yang terasa dingin itu ke wajahku, ahh…sejuknya ya Allah, setelah sepanjang hari tadi gerah menyerangku tanpa henti karena penelitian lapangan, setelah itu kulanjutkan dengan membasuh anggota tubuh yang lain hingga wudhuku ini sempurna. Tiba di dalam mesjid, aku lebih merasakan kesejukan yang luar biasa, bukan karena kipas angin yang berputar diatasku, tapi karena memang mesjid adalah rumah Allah, adakah rumah lain yang kesejukannya melebihi mesjid?

Didalam mesjid ini, ternyata aku tidak sendiri, ada pula seorang bapak yang sudah terlihat tua juga sedang bersiap sholat, tetapi begitu melihatku, dia menawarkan untuk sholat berjamaah. Tentu saja aku tak menolaknya, aku sudah tertinggal sholat berjamaah tepat waktu, jadi mumpung ada teman, tentu saja ini sesuatu yang luar biasa nikmat dari Allah.

“ ayo mas, kamu saja yang jadi imamnya ya “ kata bapak itu menawariku. Tentu saja aku merasa segan, beliau lebih tua dariku, masak aku yang jadi imamnya, bukan tidak boleh tapi supaya lebih santun, bukankah sudah diajarkan agar yang muda menghormati yang tua?

“ waduh pak, bapak saja yang jadi imam, kan lebih tua bapak daripada saya? “ jawabku dengan santun

“ loh, memang kalau masih muda ga’ boleh jadi imam tho’ buat berjamaah? Bacaan sholat saya ini masih belum lancar mas, takutnya nanti sholatnya jadi ga’ sah, jadi kamu saja ya” desak bapak itu lagi. Yah mau tidak mau aku mengalah saja, daripada terlalu lama berdebat hanya buang-buang waktu saja.

Selesai sholat, kulihat bapak itu bersiap meninggalkan mesjid, tanpa zikir ataupun doa terlebih dulu, ketika bapak itu mau permisi padaku, aku segera mengulurkan tangan untuk bersalaman padanya, meski bingung tapi diterimanya juga jabatan tanganku. Sembari menunggu teman-teman yang lain datang, aku meneruskan zikir dan doa, setelah itu kuraih mushaf al qur’an dari dalam saku tas ranselku, dengan takzim kucium mushaf itu dan membacanya perlahan. Tak lama, muncul satu persatu teman-teman rohis, segera kami menyelenggarakan rapat sore itu dengan agenda membahas persiapan training kepemimpinan kader dakwah.

Menjelang maghrib, rapat baru selesai, para akhwat terlihat bergegas meninggalkan mesjid, sedangkan para ikhwan termasuk aku masih bertahan, menunggu adzan berkumandang jadi sekalian saja sholat disini. Kulihat di sudut halaman mesjid, bapak tua yang tadi masih bertahan dengan gerobaknya, aku baru sadar belum berkenalan dengannya. Aku memutuskan untuk menghampiri bapak itu, ohhh..aku baru tahu bapak itu ternyata seorang penjual rujak keliling, sambil mengipaskan topinya yang sudah terlihat lusuh, bapak itu duduk dibawah pohon yang cukup rindang.

“assalamualaikum pak” sapaku lembut

“ eh waalaikum salam, loh kamu yang tadi kan? Ada apa? “ Tanya bapak itu agak kaget dengan kehadiranku.

“ ga ada apa-apa ko’ pak, mau silaturahmi aja, tadi kan ga’ sempat kenalan. Nama saya Bayu pak” jawabku sambil memperkenalkan diri. Kembali tangan kami berjabat erat, bapak itu memperkenalkan diri dengan nama Pak Surip.

“ sudah lama pak jualan rujak keliling, saya ko’ baru lihat bapak ya? “ tanyaku lagi sambil memperhatikan gerobak rujak Pak Surip. Gerobak yang sudah tua, sudah rapuh disana-sini, tapi kelihatannya masih kuat untuk dibawa berkeliling.

“ yah lumayan lah mas, saya baru beberapa minggu ini saja mangkal disini. Lha mas sendiri dari tadi ngapain di mesjid? Kalo pengajian ko’ ga keliatan baca qur’an ya? “ Tanya Pak surip dengan mimik yang polos,

“ oh..saya sama teman-teman itu lagi rapat organisasi pak, kita memang biasa rapatnya di mesjid, karena mesjid lebih bisa ngasih ide brilian pak” jawabku sambil tersenyum

“ hah, berlian?” sahut pak Surip lagi dengan nada terkejut. Aku langsung tertawa kecil, lalu kujelaskan yang kumaksud itu brilian bukan berlian, artinya cemerlang. Dan seketika kamipun tertawa lepas. Hahh ya Allah, baru tadi sewaktu sholat ashar bertemu pak Surip, langsung bisa akrab seperti ini, untungnya aku memang tipe orang yang supel dalam pergaulan, jadi bisa akrab dengan siapa saja kecuali…akhwat atau wanita dan sejenisnya yang bukan muhrim!

Adzan maghrib pun berkumandang dengan indah, aku dan Pak Surip segera menghentikan obrolan, dan aku kembali mengajaknya untuk sholat berjamaah bersama. Tak lupa aku perkenalkan juga Pak Surip dengan ikhwan yang lain. Selepas ,maghrib, Pak Surip pamit untuk segera pulang, tadiny aku cemas jika menjelang mala mini Pak Surip harus pulang sendirian sambil mendorong gerobaknya, apalagi tadi beliau bilang rumahnya di daerah perkampungan kecil di Martapura yang pastinya jauh dari kawasan perkotaan ini. Saat kutawarkan mengantarnya pulang, dengan halus Pak Surip menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sudah biasa pulang agak malam seperti ini. aku hanya bisa berdoa untuknya dalam hati semoga Allah memberinya keselamatan hingga sampai dirumah dengan selamat.

Setelah pak Surip berlalu, aku meneruskan zikir di mesjid, kali ini membaca zikir harian sore hari, ditambah dengan tilawah bersama dengan ikhwan yang lain, kami membentuk lingkaran kecil dan saling menjaga bacaan, jika ada yang salah atau keliru, segera kami luruskan, inilah aktivitas yang sangat kusukai jika sudah berkumpul dengan mereka. panggilan isya kembali menyeru, setelah sholat kuputuskan untuk segera pulang ke kost, malam ini harus menyusun laporan penelitian tadi siang, karena besok pagi harus segera dikumpulkan, tapi sebelumnya singgah dulu di warteg beli makan malam.

Beberapa hari ini akhirnya aku sering ke mesjid kampus sekedar untuk silaturahmi dengan Pak Surip, bukan Cuma silaturahmi, tapi juga jadi pelanggan setia rujak Pak Surip, bahkan kadang porsi rujak untukku selalu dilebihkan beliau. Dalam beberapa hari ini pula, rohis sering mengadakan rapat, tapi kali ini terasa beda, setiap kali rapat, pasti rujak Pak Surip ikut menemani, dan gratis pula! Pak Surip tidak pernah mau menerima bayaran dari kami. Aku dan teman-teman salut pada Pak Surip, kami tahu keuntungan dari berjualan rujak keliling itu tidak terlalu besar, tapi beliau begitu ikhlas memberi pada kami. Diantara yang lain, tentu aku yang paling dekat dengan Pak Surip, pernah suatu hari aku bertanya tentang sikap baik yang ditunjukkan Pak Surip pada kami.

“ wah pak, teman-teman sekarang semakin semangat loh datang rapat, habisnya ada rujak gratis sih” candaku pada Pak Surip yang hanya tersenyum simpul menanggapi kata-kataku

“ Alhamdulillah kalau begitu mas, saya ikut senang” balas Pak Surip sambil tersenyum

“ tapi jadi ga enak juga nih pak, masa gratisan melulu, ntar yang ada, bapak malah rugi, kan kasian anak istri bapak kalo penghasilan bapak jadi berkurang” kataku lagi sambil menikmati rujak buatan pak Surip, tapi kalo yang ini pasti harus dibayar

Pak surip tiba-tiba terdiam dan menghentikan aktivitas membersihkan sisa-sisa potongan buahnya. Aku yang baru menyadari diamnya pak Surip melihat gelagat yang aneh ketika menyinggung tentang keluarganya.

“ eh maaf pak, saya salah ngomong ya” ucapku dengan rasa bersalah

“ eh oh ga’ ko’ mas, ga’ apa-apa.. “ jawab pak Surip dengan ekpresi gugup. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi, mengumpulkan sisa potongan buah lalu membuangnya ke tempat sampah. Aku masih merasa tidak enak dengan pak Surip, sepertinya beliau sedang menyimpan suatu masalah yang berat tentang keluarganya.

“ hmmm…boleh saya tahu tentang keluarga bapak” tanyaku dengan hati-hati. Lama pak Surip mau menjawab pertanyaanku, namun akhirnya setelah menghela nafas sejenak, beliau mau juga bercerita tentang keluarganya.

“ saya punya istri dan 4 orang anak mas, yang paling tua laki-laki, namanya Yusuf, sisanya perempuan. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Yusuf adalah kebanggaan saya, saya bekerja keras untuk bisa menyekolahkannya sampai jadi sarjana, saya rela kerja apa saja asalkan halal, demi anak-anak saya terutama Yusuf “ cerita Pak Surip. Aku terkesima dengan cerita pak Surip, sungguh seorang ayah yang luar biasa.

“ sekarang Yusuf itu sudah sekolah apa pak?” tanyaku lagi. Kembali Pak Surip terdiam, seperti enggan menceritakan tentang Yusuf anaknya, aku tak berani mendesaknya, jadi kutunggu saja pak Surip menlajutkan ceritanya.

“ seharusnya dia sudah mau lulus SMA sekarang, tapi….” Pak Surip tertahan dengan ceritanya. Aku pun ikut bingung, apa maksudnya dengan “seharusnya sudah lulus SMA” ?

“ tapi kenapa pak?” kuberanikan bertanya pada pak Surip

“ seharusnya dia sudah lulus SMA andai dia tidak terjerumus seperti itu, kebanggaan saya hilang mas karena dia bukan yusuf anak saya yang dulu” lanjut pak Surip lagi dengan suara terbata. Lalu mengalirlah cerita pak Surip tentang Yusuf anaknya, seorang anak yang dulunya cerdas, sejak SD sampai SMP selalu menjadi bintang kelas, hingga akhirnya masuk SMA favorit dengan beasiswa dari pemerintah. Tapi seketika semua berubah saat Yusuf salah dalam memilih teman di SMA-nya, entah karena pengaruh pergaulan yang salah itu, Yusuf berubah drastis, prestasi sekolahnya menurun, akhirnya dia tidak naik kelas sampai 2 tahun. Perilaku Yusuf pun ikut berubah, dia yang tadinya sopan dan santun pada siapapun, sekarang bahkan berani membentak orangtuanya, mencuri uang dirumah, dan uangnya dipakai untuk mabuk-mabukan. Karena itulah, pihak sekolahnya tidak mampu lagi memberikan toleransi, beasiswanya dicabut dan Yusuf pun dikeluarkan dari sekolah itu. Namun, bukannya berubah, kelakuan Yusuf makin menjadi-jadi, sering Pak Surip dan anaknya itu bertengkar hebat karena masalah itu.

“ saya menyesal mas dulu tidak mendidik anak saya itu dengan pendidikan agama, saya lebih suka melihatnya belajar berlama-lama daripada ikut teman-temannya mengaji di surau” ucap Pak Surip dengan nada menyesal. Aku masih diam, bingung mau menanggapinya seperti apa, inilah budaya masyarakat yang harus diluruskan. Selama ini orangtua hanya peduli dengan prestasi studi anaknya, tapi acuh terhadap pembinaan akhlak agama, akibatnya meski cerdas, tapi moralitasnya tidak ada sama sekali.

“ itulah kenapa saya sangat terkesan dengan mas dan teman-teman mas yang lain, yang wanita terlihat anggun dengan jilbabnya, yang laki-laki begitu teduh pandangannya, saya merasa nyaman berdekatan dengan kalian, terasa damai sekali. Saya membayangkan anak saya Yusuf bisa seperti kalian, tidak hanya cerdas tapi juga sholeh” lanjut pak Surip lagi. Sekilas aku memandangi pak Surip, air matanya terlihat mulai mengalir, namun dengan cepat diusapnya air mata itu.

“ saya sudah menganggap mas dan yang lain seperti anak saya, yah walaupun saya tahu tidak pantas, saya hanya seorang penjual rujak, orang miskin yang bodoh. Saya tidak mengharapkan mas dan yang lain menerima kehadiran saya sebagai orangtua, saya tahu diri, itulah kenapa saya senang memberi rujak tiap kali kalian berkumpul, karena hanya itu yang bisa saya beri” ucap pak Surip lirih. Aku membiarkan pak Surip meluapkan emosinya, setelah kulihat agak tenang, baru aku menanggapi ceritanya.

“ pak, sungguh suatu kebanggaan bagi saya dan teman-teman mendapatkan perhatian dari bapak, kami bahkan salut dan kagum pada bapak, terimakasih atas semua yang telah bapak beri, meski itu hanya sepiring rujak “ ucapku sambil tersenyum berusaha untuk menyenangkan hatinya.

“ penyesalan itu memang selalu datang belakangan pak, tapi tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya. Bapak masih bisa mendidik anak-anak bapak lagi, termasuk Yusuf, insya Allah, semoga dengan kesabaran bapak, hatinya akan terbuka dan dia akan kembali menjadi anak kebanggaan bapak, saya dan yang lain pasti akan selalu mendoakan bapak sekeluarga” kataku lagi

“ mas….mas mau mengajari saya sholat dan mengaji yang benar? Agar saya bisa mengajari anak-anak saya dirumah” Tanya pak Surip penuh harap. Aku kembali tersenyum sambil mengangguk pasti, ya Allah…pak Surip adalah ladang amal untuk kami, terimakasih ya Allah Kau pertemukan aku dengan pak Surip.

Dan akhirnya tiap sore kalau tidak ada agenda, aku mengajari pak Surip cara sholat beserta bacaannya secara benar, begitu juga cara mengaji. Tapi jika aku sedang sibuk, aku meminta yang lain menggantikanku. Sekarang pak Surip sudah lancar mengaji, dan dia juga bercerita,selain dirumah, pak Surip juga menyuruh anak-anaknya selain Yusuf untuk ikut mengaji di Surau. Yusuf sudah lama tidak pulang kerumah, pak Surip juga tidak tahu dimana dia sekarang. Jadilah pak Surip hanya berdoa agar anaknya itu tetap dijaga oleh Allah dimanapun ia berada.

Sudah sebulan lebih pak Surip tidak kelihatan lagi di pojok mesjid, aku jadi kangen, apalagi tiap kali rapat rohis, tidak ada lagi sepiring rujak segar dari pak Surip. Aku mencoba bertanya pada penjual makanan yang lain disekitar mesjid, tapi tidak ada yang tahu, apa pak Surip sakit ya? Tanyaku dalam hati. Aku menyesal tidak meminta alamat lengkap pak Surip,yang kutahu hanya nama desanya, desa Karang Intan, kemarin-kemarin sempat berencana silaturahmi kerumahnya, tapi kesibukan kuliah dan rohis membuat aku jadi lupa pada rencana itu. akhirnya aku memutuskan untuk silaturahmi kerumah pak Surip, berbekal alamat seadanya, aku dan beberapa ikhwan menyusuri jalan menuju desa Karang Intan. Setelah cukup lama berpetualang menuju rumah Pak Surip, akhirnya kami sampai di desa yang kami tuju, kami pun mencoba bertanya pada warga sekitar siapa tahu mereka kenal dengan pak Surip.

“ oh Surip tukang rujak keliling itu? kalian lurus saja, nanti ada pos ronda, belok kanan, kalo ada rumah petak ga’ pake warna, nah itu rumahnya” ucap seorang bapak menjelaskan peta rumah pak Surip

“ kalian ini mahasiswa ya? Mau ngapain ke rumah Surip? Kalau mau melayat, udah telat, si Surip udah dikubur” tambah seorang bapak satunya. Mendengar pak Surip meninggal, jelas aku dan yang lain kaget luar biasa, seakan tak percaya, tapi aku mencoba menguasai diri dan bertanya lebih lanjut.

“ Pak Surip sudah meninggal pak? Kami tidak tahu tentang itu, kami kesini justru mau bertemu beliau karena sudah lama tidak kelihatan di kampus kami” jelasku pada bapak-bapak itu

“ lha iya, si Surip itu meninggal, dibunuh sama anaknya sendiri, emang dasar edan si yusuf itu, anak durhaka” sahut bapak itu lagi dengan wajah geram. Aku dan yang lain segera memutuskan melanjutkan perjalanan, sesampainya di rumah Pak Surip, hanya terlihat anak-anak perempuan yang sedang membersihkan halaman rumah. Setelah mengucapkan salam, kami disambut oleh seorang wanita paruh baya, mungkin ini istrinya pak Surip. Kami lantas menanyakan kabar pak Surip yang sudah lama tidak mangkal di mesjid kampus, namun pertanyaan kami dijawab dengan tangis istrinya yang tidak tertahankan.

“ Bapak sudah meninggal mas, dibunuh sama Yusuf, saya benar-benar menyesal kenapa sampai bisa melahirkan anak seperti Yusuf itu” ucap bu Surip dengan nada geram. Kami hanya terdiam, syok mendengar berita tragis ini. dengan tangis yang semakin pecah, bu Surip menceritakan kronologis kejadian itu, pagi itu, saat keluarga pak Surip bangun untuk menunaikan sholat subuh, Yusuf tiba-tiba datang menggedor pintu rumah sambil berteriak-teriak. Pak Surip lantas membukakan pintu, melihat Yusuf yang sempoyongan, pak Surip berusaha menenangkan anaknya itu, sambil membacakan istighfar. Tanpa peduli dengan hal itu, Yusuf memaksa meminta uang, tapi tidak dipedulikan oleh pak Surip, bahkan beliau masih berusaha menasehati Yusuf. Yusuf yang sudah terpengaruh minuman keras akhirnya kalap, dengan cepar diraihnya sebilah pisau dari balik punggungnya dan entah sadar atau tidak, pisau itu dengan cepat pula ditusukkan ke ayahnya sendiri. Bu Surip dan anak-anaknya yang lain hanya bisa berteriak histeris sampai akhirnya warga berdatangan, setelah menusuk ayahnya, Yusuf baru menyadari apa yang telah ia lakukan, namun apa daya, nyawa pak Surip sudah tak tertolong lagi. Warga yang berdatangan segera meringkusnya, bahkan ada yang sampai memukulinya hingga babak belur. Di akhir ceritanya, bu Surip masih saja meluapkan amarahnya dengan sumpah serapah untuk Yusuf yang sekarang mendekam di tahanan polisi. Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar,” ya Allah, kenapa orang sebaik pak Surip harus mengalami hal ini, tapi sungguh aku percaya ya Rabb, Engkau selalu punya rahasia dibalik sebuah kejadian” ucapku dalam hati.

****

Tanah itu sudah kering, sebulan yang lalu, wangi bunga seroja masih tercium jelas namun kini tergantikan oleh rerumputan yang tumbuh liar diatasnya, diatasnya itu pula sebuah batu nisan berdiri tegak, memperlihatkan barisan kalimat sederhana kepada orang-orang yang datang melihatnya.

SURIP BIN KASIM

LAHIR : 22 OKTOBER 1955

WAFAT : 23 MEI 2009

aku kembali mengunjungi makam pak Surip, kali ini sendiri tanpa ditemani oleh yang lain. Sembari membersihkan rerumputan itu, tak lupa kubacakan sebait doa agar kuburnya dilapangkan oleh Allah.ya Allah, berikanlah tempat disisiMu yang terbaik untuk Pak Surip…. Pak Surip, sosok manusia yang begitu memberi kesan terindah dalam hidupku, saat ia ingin memperbaiki segalanya, hidupnya harus berakhir dengan tragis..ditangan anaknya sendiri, anak laki-laki yang sangat ia banggakan, dulu….!

Terimakasih pak, atas pelajaran hidup yang sudah kau berikan, terimakasih atas sebentuk cinta dan kasih sayang yang kau berikan, meski hanya dalam sepiring rujak, kontribusi dakwah yang sangat sederhana.

Aku dan teman-teman di Rohis kampus sepakat untuk menyantuni keluarga pak Surip dengan menjadi orangtua asuh bagi 3 anaknya, Siti, Norma dan Sari. Ya…hanya ini yang bisa kami lakukan untuk almarhum pak Surip, Yusuf, anak laki-laki pak Surip itu sudah divonis hukuman mati, tidak ada satupun hal yang meringankannya, bahkan ibunya sendiri tidak mau lagi mengakuinya sebagai anak. Yah…ini hanya cerita kecil dari hidup seorang manusia seperti pak Surip, aku yakin diluar sana, masih ada lagi episode-episode kehidupan yang lain, ya Allah bukakanlah mata dan hatiku agar selalu bisa melihat kejutanMu yang lain….Amin!
More aboutCerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak

Cerpen Belum Waktunya Cinta

Cerpen  Belum Waktunya Cinta ~ ini sebuah Cerpen yang Indah untuk dinikmati oleh Sobat semua. Cerpen Cinta tapi judulnya Belum Waktunya Cinta ini bisa menggambarkan sebuah hidupan manusia yang sangat ingin punya cinta suci. Akan ada banyak makna yang tersimpan di balik Cerpen ini, jadi baca dan resapi yah :)


Cerpen Belum Waktunya Cinta


Belum waktunya kau untuk mencintaiku..
Jika kau masih merasa belum mampu meraihku…
Ketika kau masih dalam angan untuk menggenggam hatiku…
Jangan biarkan cinta-cinta yang telah ada dalam genggam hatimu lepas.
Hanya karena kau sibuk dengan perasaanmu sendiri…
Karena…belum tentu kau akan bisa memilikiku..
Jangan sampai kelak kau akan menyesal…
Karena kau sudah tak bisa meraihku, kau harus kehilangan pula cinta-cinta lain yang telah ada di genggaman hatimu…

By Indira…

Itulah sepucuk surat yang tak sengaja kutemukan di pojok meja perpustakaan kampus. Sudah agak lusuh dan berdebu menandakan bahwa surat itu sudah lama ditulis. Entahlah…untuk siapa surat itu ditujukan Indira, aku memang sudah lama tak ada komunikasi dengan Indira, sejak kejadian sekitar 4 bulan lalu…
***
Indira Fatimah, nama yang bagiku sangat indah, seindah ketika aku mengenal sosok muslimah aktivis rohis kampus yang akrab di panggil Indira. Siapa yang tak mengenalnya? Namanya begitu akrab di telinga hampir semua penghuni universitas ternama di kota ini. Indira terkenal karena aktif sebagai penulis lepas di berbagai media massa lokal dan luar daerah. Tulisannya tajam, senang menyusupkan kritikan terhadap sebuah permasalahan, tapi juga luar biasa ketika di setiap akhir tulisan selalu ada ide solutif sebagai pertimbangan penyelesaian masalah itu. bagi yang hanya mengenal Indira lewat tulisan, pasti menyangka bahwa sosok Indira adalah tegas, keras dan serius. Tapi tidak, justru sebaliknya, Indira dikenal sebagai sosok yang ramah, tak segan memberi senyum, bahkan tak jarang dia senang bercanda dan sedikit konyol.

Hmm..darimana aku bisa tahu dia ya? aku hanya tak sengaja sering melihatnya di taman depan kampus, saat aku sedang berada di lantai 2 sekedar melihat pemandangan dari atas. Jujur, aku tak ingin melepas pandanganku dari Indira, tapi aku tahu bahwa pandangan ini adalah amanah yang harus kujaga kesuciannya, jadilah ketika tak sengaja melihat, aku mengalihkan pandangan dan hanya terdengar sayup-sayup suara Indira bersama akhwat lainnya.

Aku tak tahu sejak kapan nama Indira suka mengusik pikiranku, memang aku termasuk pembaca setia tulisan Indira, entah dari membaca koran, atau di blognya yang kebetulan masuk dalam link blogku, atau tak sengaja terlihat di beranda facebook-ku. Kuakui, tulisan Indira itu unik, serius tapi mudah untuk dimengerti. Aku juga baru tahu, Indira ternyata orangnya puitis juga, meski aku bukanlah teman yang akrab dengannya, terutama di facebook, jadinya tidak pernah kena tag dia, aku sering membaca tulisan puisinya yang dianggapnya sebagai intermezzo untuk tulisan berat berikutnya. Ahh…aku bukanlah apa-apa meski hanya sekedar menyapa seorang Indira, aku tak pernah mengenal sosoknya secara langsung karena memang kami beda fakultas meski satu universitas. Bahkan meski sama-sama aktif di rohis, kami tak pernah saling mengenal, maksudku dia yang tak pernah mengenalku. Hanya saja ketika pas ada kegiatan rohis bersama, aku memang sering bertemu dengannya secara jarak jauh.

“hayo lagi ngelamunin apa akh Fatah?” tiba-tiba tepukan ringan mampir ke bahuku. Sentak aku kaget dan seketika surat yang baru kutemukan itu buru-buru kulipat seadanya dan menyembunyikannya di buku catatan.

“waalaikumsalam akh Bayu. Suka banget sih bikin kaget orang?” balasku dengan sedikit melototkan mata.

“ eh..afwan lupa. Assalamualaikum akhi” kata Bayu yang akhirnya sadar bahwa dia lupa menyapaku dengan salam.

Aku segera menenangkan pikiran seraya menarik nafas pelan, aku tak boleh terlihat aneh seperti ini, apalagi di hadapan ikhwan seperti Bayu. Maklum saja, meskipun kadang sikapnya konyol, Bayu sangat over protektif dan sedikit sensitif kepada para ikhwan lainnya, terlebih karena ia adalah seorang ikhwan yang amanahnya di bidang kaderisasi rohis fakultasku. Jangan sampai Bayu melihat mimik muka aneh, sebagai mahasiswa psikologi, dia bisa tahu ada yang tak biasa dari seseorang, bisa-bisa dia akan menginterogasiku sepanjang hari ini.

“ hei, pertanyaan ana belum dijawab, antum lagi ngapain bengong sendirian? Ajak-ajak dong, ntar kalo sendirian bisa di goda syaitan” ucap Bayu lagi sambil mengambil posisi bersandar dan berhadapan denganku.

“ga ngapa-ngapain kok akh, cuma lagi fokus sama materi kuliah tadi” jawabku berbohong. Aduh ya Allah…maafkan aku ya, aku terpaksa berbohong, aku tak mau sampai Bayu mengetahui keanehan padaku yang aku sendiri tak tahu apa dan kenapa.

“ ohh..ga usah terlalu dipikirkan akh, santai aja, kuliah tuh jangan dibawa berat dan jadi beban. Eh iya, antum ada baca koran hari ini? tulisan ukhti Indira dimuat lagi, isinya tentang pandangannya pada kasus pencemaran limbah di sebuah perusahaan industri besar yang lagi heboh-hebohnya itu. wuah…kapan ya ana bisa seperti dia, memasukkan ide dan dibaca oleh semua orang?” kata Bayu sambil melempar pandangan ke atas dan bawah kampus.

Glekk! Tiba-tiba terasa getaran aneh dihatiku ketika Bayu menyebut nama Indira. Ohh..Rabbi, apa yang sebenarnya terjadi padaku ini?? desahku dalam hati. Segera aku mengontrol emosi yang sedang bergejolak di hati. Ingin rasanya aku kabur dari Bayu, tapi biasanya itu bukan cara efektif, Bayu pasti akan curiga, kan sudah kubilang Bayu itu orangnya sensitif.

“akhi…akh..hei…halo…!!” teriakan Bayu menyadarkan pikiranku yang baru saja melanglang buana tak jelas, aduh…ada apa ini ya Rabb?? Desahku dalam hati…“eh..oh..hm…ga papa kok akh, afwan ya, ana mau ke perpustakaan dulu. Oya, ba’da ashar nanti syuro follow up mentoring kan? Insya Allah ana datang, dah ya, assalamualaikum” sahutku pada Bayu sembari buru-buru meninggalkannya yang hanya bisa menatap kepergianku dengan wajah melongo…kasian juga sih, tapi daripada nanti aku di cecarnya lagi??

Perpustakaan terlihat sepi, hanya ada beberapa mahasiswa didalam, ada yang sedang membaca buku, ada juga yang sambil mengerjakan tugas kuliah. Aku berjalan menuju rak buku bagian psikologi, sekalian mencari bahan tugas makalah. Dan ketika berjalan menuju meja favoritku, yaitu di ujung dekat jendela, aku terhenyak, ada sesosok orang yang beberapa hari ini cukup “mengganggu”ku. Indira, ya..dia sedang duduk di meja kesukaanku, memang sih masih ada meja lain disana, tapi bagiku posisi meja itu lebih menyenangkan hatiku. Indira sedang berhadapan dengan laptopnya, entah sedang mengerjakan tugas kuliah atau sedang menulis. Beberapa saat pandanganku tak beralih darinya, dia duduk membelakangiku.

“Astaghfirullah..ayo Fatah, jaga pandanganmu!!” jeritku pada hati. Buru-buru aku menuju meja tempat peminjaman buku, tidak jadi aku menghabiskan waktu siang ini di perpustakaan. Setelah itu aku menuju mesjid kampus dan sebentar membuka laptopku. Lumayan jaringan wireless kampus masih menjangkau sampai mesjid ini. Langsung ku buka browser Mozilla dan YM untuk sekedar mengecek email dan sekalian membuka facebook.

Terlihat di list teman yang online, ada nama “Ukhti Indira sang pejuang pena”, itu adalah nama FB Indira. Jantungku kembali berdebar kencang, sungguh aku tak suka ada rasa ini berkembang dihatiku. Entah apa yang mendorongku untuk melakukan ini, ku pilih nama Indira untuk kuajak chat.
“assalamualaikum” tulisku dalam chat pertama. Agak lama aku menunggu balasan dari Indira. Ahh..aku tahu Indira adalah orang yang tidak sembarangan bisa disapa.

“waalaikumsalam” tiba-tiba ada balasan chat dari Indira. Aku tersenyum entah apa maknanya
“ hmmm…saya termasuk yang suka tulisan ukhti. Afwan”
“ ohh..hehe…syukron, semoga saja bermanfaat”
“itu pasti, tulisan ukhti selalu menggugah, dan seringkali tidak terlintas di pikiran siapapun, termasuk saya”
“oh ya? itu hasil analisa dan renungan kok, Alhamdulillah”
“^_^”
“afwan, antum ikhwan mana?”
“ ana ikhwan di bumi Allah, semoga berkenan menjalin ukhuwah dengan ana”
“bumi Allah itu kan luas akhi”
“ya…pokoknya di bumi Allah lah, jelasnya saya ga akan macam-macam sam ukhti kok, he..”
“hmm..ya sudah, salam kenal dan ukhuwah. Afwan ana masih ada yang harus dikerjakan. Wassalam”
“iya, syukron atas waktunya. Waalaikumsalam”

Entah kenapa sejak obrolan singkat kami via chatting itu, aku semakin memendam perasaan rindu pada Indira. Apalagi dia akhirnya sering men-tag aku di setiap tulisannya, dan tentu saja aku tak pernah absen mengomentari tulisan tersebut sembari memberikan jempolku, karena bagiku apapun yang ditulis oleh Indira akan selalu indah dan menyejukkan hati, terlebih…hatiku.

Dan entah syaitan apa yang telah berhasil merasuki dan mengobrak-abrik hatiku hingga akhirnya keteguhan prinsipku tentang menjaga pandangan baik mata dan hati retak. Aku mulai berani menyatakan perasaanku pada Indira! Lewat sebuah Personal Message di facebook, ku tuliskan semua yang kurasakan padanya, tentang kekagumanku pada sosoknya yang luar biasa, mulai dari kehebatannya merangkai kata dalam sebuah tulisan hingga kesibukan dakwahnya. Entah apakah malaikat sedang bersamaku saat itu, atau malaikat sudah berusaha menahanku tapi nafsuku berhasil mengalahkannya, entah..jelasnya yang ada dalam pikiranku hanyalah menyatakan perasaanku pada Indira. Tapi sungguh, aku hanya ingin sekedar mengungkapkannya saja tanpa berharap Indira akan mau memberikan jawaban padaku. Aku merasa tak bisa lebih lama lagi menyimpan rasa yang terlanjur hadir dihatiku. Apakah aku salah hanya sekedar mengungkapkan agar beban dihatiku ini sedikit berkurang??

Ukhti Indira...
Semoga anti selalu dalam lindungan Allah…
Afwan jiddan atas apa yang ana lakukan ini. Tapi..ana sudah tak bisa menyimpan rasa ini terlalu lama. Ana menyukai anti…lebih dari sekedar suka yang anti terima dari penggemar anti selama ini. Terasa menjadi beban yang teramat berat ketika rasa ini semakin hari semakin tumbuh subur dihati ana, dan menurut ana tidak ada cara lain selain dengan mengungkapkannya pada anti. Tapi sungguh, ana tidak berharap jawaban apapun dari anti. Walau andai bisa dan boleh, ana ingin sekali menghalalkan perasaan ini dalam sebuah ikatan suci, tapi…ternyata amanah ana masih terlalu banyak, ana harus menyelesaikan kuliah ini dulu, mencari pekerjaan baru ana berani untuk datang kerumah anti dan berbicara pada orangtua anti. Sekali lagi afwan jiddan. Biarlah rasa ini kemudian menjadi endapan dihati, insya Allah…ana akan jaga hingga waktu itu tiba.
Wassalam. Al Mujahid Fatah

Sedikit ragu ku-send pesan itu ke Indira, ada rasa tenang yang menyergap dihati. Apakah ini karena aku sudah mengungkapkan semuanya pada Indira?? Atau jangan-jangan…ini adalah “ketenangan” dari syaitan?? Ya Rabb…maafkan aku, sungguh aku hanya hambaMu yang lemah ketika Kau beri aku rasa itu…
More aboutCerpen Belum Waktunya Cinta

Cerpen Kehidupan

Cerpen Kehidupan " Hadiah Kain Kafan Untuk Bapak " ~ sebuah Cerpen Kehidupan yang bisa mengajarkan kita tentang Hidup dalam keserakahan akan berakhir dengan maut yang tiba disaat kita belum sempat untuk ber taubat. baiklah langsung saja disimak untuk Cerpen Kehidupan " Hadiah Kain Kafan Untuk Bapak " :
Sebuah Kado Istimewa


Cerpen Kehidupan


“ Bapak tenang saja, ada uang urusan apa saja pasti lancar” kata seorang lelaki separuh baya yang memakai kemeja batik itu sambil tersenyum. Ditangannya memegang sebuah amplop yang berisi tumpukan rupiah dengan satuan lembaran 50-ribuan. Seorang bapak yang duduk didepannya juga tersenyum puas sembari mengisap rokok kretek, sesekali dia memilintir kumisnya yang tebal, konon kumis baginya adalah simbol kewibawaan.

Aku yang tak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka hanya bisa mengelus dada. Ada rasa gemuruh yang berkecamuk, ingin melakukan sesuatu tapi seperti ada tembok yang menghalangi. Ya…lelaki berkumis itu adalah Pak Ridwan, ayahku sendiri, yang sedang mencalonkan diri sebagai Bupati didaerah ini. Satu hal yang masih tak kumengerti, apa lagi yang sedang dikejar Bapak? Apa harta sebanyak ini, serta penghormatan yang sudah amat luar biasa dari orang sekitar masih tak cukup buat Bapak? Untuk apa lagi mengincar kekuasaan menjadi Bupati? Ngerti masalah rakyat aja ga, biasanya malah Bapak ga mau tahu tentang persoalan rakyat yang sering ditayangkan di Televisi.

“ Apa Bapak ga salah mencalonkan diri jadi Bupati?” tanyaku saat Bapak mengumpulkan kami semua, Ibu, aku dan Anisa yang masih duduk di bangku SMA.

“ Ya ga lah Rif. Banyak yang sudah melamar Bapak buat jadi calon. Jadi kenapa harus ditolak?” jawab Bapak sambil mengisap kreteknya.

“Tapi apa Bapak yakin bisa menang nantinya? Terus kalo udah terpilih, apa Bapak sanggup memikul amanah menjadi pemimpin daerah ini?” cecarku pada Bapak. Seketika itu pula Bapak melotot tajam padaku. Yah…sebenarnya beliau tahu bagaimana aku, dikampus, aku adalah seorang aktivis rohis sekaligus pergerakan mahasiswa yang selalu kritis terhadap persoalan masyarakat. Meskipun beliau bapakku sendiri, tapi kritis ini tidak boleh pilih kasih.

“Arif! Dikampusmu kamu boleh teriak sana-sini. Tapi sama bapak, jangan coba-coba. Bapak tahu apa yang harus bapak lakukan sekarang ini, ga usah kamu ajarin!” jawab Bapak dengan ketus dan membubarkan “rapat” keluarga itu. Ibuku hanya bisa menunduk dan melihatku seolah meminta agar aku tak perlu bersikap sekeras itu pada Bapak.

Dan kini aku merasa berada dalam situasi yang dilematis. Satu sisi, aku memang tidak setuju Bapak mencalonkan diri sebagai Bupati, apalagi belakangan aku tahu partai yang mencalonkan Bapak itu hanya tergiur dengan kekayaaan Bapak yang bisa mendukung kemenangan mereka nantinya. Tapi sisi lain, Bapak terkenal keras dengan segala keputusannya, kapan Bapak pernah mau mendengarkan pendapatku atau orang lain, sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan jari. Ahh…orasi dan kemampuan dakwahku masih belum seberapa jika harus berhadapan dengan Bapak. Dikampus aku boleh dikatakan sebagai singa yang keras ketika mengaum dan seorang ustadz kampus yang sering diminta mengisi kajian umum. Tapi dirumah? Ahh…aku merasa malu dengan diriku sendiri. Karena itulah, aku hanya bisa melampiaskan emosi dan kelemahanku pada Allah di tiap sujud dan sepertiga malamku sembari berdoa agar Allah berkenan membuka hati Bapak yang keras itu. Bukankah Allah itu maha membolak-balikkan hati?

***

Masa kampanye sudah dimulai, seperti yang kuduga, kampanye Bapak memang paling wah diantara yang lainnya. Sejujurnya Bapak tidak tahu apa-apa tentang kampanye ini, semua orasi atau janji-janji politik serta atribut ini diurus oleh Pak Agus, ketua tim sukses yang kemarin datang kerumah dan mengantongi sejumlah uang dari Bapak. Tersiar kabar bahwa tim sukses Bapak juga secara sembunyi-sembunyi menyebarkan sejumlah uang pada masyarakat. Aku ingin berontak, tapi sekali lagi, posisiku masih dilematis dan belum ada celah yang bisa kumasuki untuk menyadarkan Bapak.

“ Kampanye kita sukses nih pak, berdasarkan tim survey kita, bapak punya peluang besar untuk memenangkan pemilihan Bupati ini” kata Pak Agus masih dengan tawa licik selayaknya seorang penjilat pada Bapak.

“ Bagus…bagus…yang jelas, saya tidak mau sudah keluar uang banyak tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan” tukas Bapak lagi.

“ Tentu saja pak Ridwan. Kunci untuk mendapatkan simpati rakyat disini Cuma dengan ini” kata seorang anggota tim sukses sambil memberi simbol jari jempol yang mengusap jari telunjuknya alias uang. Dan tawa mereka pun pecah seketika.

“Cara kalian ini sangat licik! Berdalih mensejahterakan rakyat tapi sebenarnya haus akan kekuasaan. Kalian beli nurani rakyat dengan memanfaatkan kondisi mereka yang sedang susah!” Pemimpin macam apa kalian ini??” Tiba-tiba aku menyeruak masuk dan berteriak dihadapan Bapak dan tim suksesnya. Aku sudah tak tahan lagi mendengarkan ocehan busuk mereka.

Bapak kemudian melihat kearahku dengan mata melotot tajam dan wajah merah. Segera beliau kearahku dan menarik tanganku menjauh dari ruangan itu.

“ Bapak tidak suka cara kamu tadi Arif. Apa Bapak tidak pernah mengajarkan kesopanan sama kamu? Mana yang kau bilang tentang akhlak kepada tamu heh?” tanya Bapak masih dengan nada keras.

“Pak, Arif sayang sama Bapak. Arif tidak mau Bapak terjerumus dalam sesuatu yang salah seperti ini. Menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah Pak, apalagi Bapak selama ini tidak tahu menahu tentang persoalan rakyat yang sebenarnya. Mereka yang mendukung Bapak itu semuanya penjilat Pak! Mereka mencalonkan Bapak bukan karena kompetensi atau kelayakan Bapak jadi Bupati. Tapi Cuma karena Bapak itu kaya raya dan disegani semua orang! Ketika nanti Bapak terpilih, mereka akan menagih timbal balik dari Bapak untuk keuntungan mereka!” jelasku panjang lebar pada Bapak.

“Sok tahu kamu. Otak kamu itu yang harus dicuci biar sadar. Harusnya kamu juga bantu Bapak biar menang. Ini malah menentang Bapak, mulai sekarang Bapak tidak mau kamu ikut campur lagi! Urusi saja kuliah dan kegiatan kamu yang lain. Anak bau kencur!” jawab Bapak lebih keras sambil meninggalkan aku duduk sendirian di ruang tamu.

“ Nak, tolong…kali ini jangan lawan Bapak kamu. Ibu tidak mau mendengar kalian bertengkar lagi. Ibu mohon nak, toh seperti yang kamu bilang, sesuatu tidak akan terjadi kalo bukan atas kehendakNya kan? Jadi biarlah Allah yang nanti memutuskan” ucap Ibu dengan wajah memelasnya padaku. Dari tadi ternyata beliau berada di balik dinding setelah mendengar suara keributan dari ruang pribadi Bapak.

***

Hari pemilihan pun tiba. Aku memutuskan tidak ikut memilih meski telah ada calon yang layak untuk dipilih. Setelah pertengkaranku tempo hari dengan Bapak, dan atas permintaan Ibu pula, aku tak lagi banyak bicara tentang pencalonan Bapak. Hubunganku dengan Bapak pun terasa kaku, ketika berkumpul di meja makan, kami banyak diam. Tapi dalam setiap sholatku, aku selalu berdoa semoga Bapak akan mendapatkan hidayah.

Bapak memenangkan pemilihan. Ya…aku tidak heran dengan hal itu. Bapak menang dengan cara licik yang dilakukan tim suksesnya. Dan begitu tahu bahwa kemenangan itu telah diraihnya, Bapak segera menggelar syukuran dengan mengundang tim suksesnya serta tetangga sekitar. Semua kolega Bapak datang memberi selamat dan tak lupa memberikan hadiah kepada beliau, entah itu peci atau baju sasirangan dan batik. Aku terduduk lesu diantara gemuruh suara para tamu. Hingga kulihat ada seorang kakek tua yang datang dengan baju lusuh. Awalnya kedatangan kakek itu ditolak oleh beberapa preman pribadi Bapak, tapi berhubung ini pesta bagi seorang Bupati, diapun diperbolehkan masuk.

“ Pak Ridwan, saya ucapkan selamat atas kemenangan Bapak hari ini. Tapi ingatlah bahwa setiap yang Bapak punya hanyalah titipan yang pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti. Menjadi pemimpin, artinya harus bisa mengayomi semua hak rakyat, dan diakhirat nanti, seorang pemimpin akan lebih lama di hisab amalnya dari yang lain. Sebagai hadiah, ini saya berikan sesuatu yang istimewa untuk Bapak. Mohon diterima” kata Kakek itu panjang lebar.

Dengan sangat terpaksa, Bapak menerima hadiah dari sang Kakek itu, sebuah bungkusan lusuh.

“Buka saja. Isinya sangat istimewa dari yang lain” ucap Kakek itu sembari membalikkan badan tanpa menunggu balasan ucapan dari Bapak.

Dengan sikap meremehkan, Bapak lalu membuka bungkusan itu dan seketika wajahnya pucat pasi. Tak lama, Bapak memegang dadanya dan terjatuh diantara kerumunan tamu. Aku bergegas menghampiri Bapak dan mencoba memanggil namanya. Tapi nihil, Bapak terdiam dan aku pun memeriksa denyut nadinya, ohh…tidak..denyut nadi Bapak sudah tidak ada. Bapak meninggal!!

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bapak sudah meninggal” kataku lirih. Tangis Ibu pun pecah seketika.

Kulirik lagi bungkusan dari Kakek tadi, dan ternyata isinya adalah……..selembar kain kafan putih bersih! Seperti baru dibeli di toko kain! Dan anehnya, diujung kain kafan ini telah bertuliskan nama Bapak “Ridwan Hasan”! Aku lalu berdiri dan setengah berlari mencoba mengejar kakek itu, kuyakin dengan tubuhnya yang ringkih itu pati jalannya belum jauh. Tapi gagal, aku tak menemukan bayangnya. Kucoba bertanya pada orang di jalan mereka tidak melihat orang tua dengan cirri-ciri yang kuceritakan. Hingga akhirnya diluar logika pun timbul pertanyaan aneh



“Apakah kakek itu adalah malaikat Izrail?”
More aboutCerpen Kehidupan

Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah

Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah ~ Kumpulan Cerpen Berbagi Cerpen Islami yang berjudul Jangan Panggil Saya Ustadzah. Ini sebuah Cerpen dengan keindahan penulisan yang semoga bisa terselip pesan kehidupan untuk Sobat semua. Silahkan di Baca untuk Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah berikut ini:


Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Uztadzah
"eh ada bu ustadzah, assalamualaikum" sapa seorang mahasiswa saat aku berjalan melewatinya di koridor kampus.

Aku hanya diam sambil mengeluh dalam hati, sudah beberapa hari ini sapaan itu cukup mengganguku

"wah,bu ustadzah sombong banget, katanya jawab salam itu hukumnya wajib" kali ini terdengar celutukan dari mahasiswa satunya

"waalaikumsalamwarahmatullah" kataku tanpa menoleh dan mempercepat langkah menuju ruangkuliah.



Sesampainyadi ruang kuliah, aku masih saja memasang tampang cemberut, kuhampiri Sita,temanku yang sudah lebih dulu datang.

"Assalamualaikum ustadzah Farah, aduh kok mukanya cemberut sih?" tanya Sita sambil menggodaku.Segera ku pelototkan mataku ke arahnya, dan Sita hanya membalas dengan senyum nyengir

"Bisa ga sih panggil aku itu biasa aja? Tanpa embel-embel ustadzah?" tanyaku setengah kesal pada Sita

"Memangnya kenapa sih Fa? Ada masalah? Kan semua juga tahu kalo kamu itu anak rohis kampus yang alimnya setengah tiang, eh salah setengah mati" jawab Sita sekenanya.

Aku mendengus kesal pada Sita, lagi-lagi dibalasnya dengan cengiran.

"Sit,mungkin bagi kamu sama yang lain panggilan itu biasa, tapi buat aku itu panggilan yang berat. Ah, mungkin kamu juga belum bisa ngerti kalopun aku jelaskan panjang kali lebar" kataku akhirnya diam dan mengalihkan pandangan pada diktat kuliah.



"waduh non, ya sudah, kan kamu tahu sendiri kalo IQ aku itu masih dalam masa pertumbuhan, jadi ga bakal ngerti yang begituan. Udah, try enjoy it, oke?" kata Sita lagi dan tepat Pak Bambang masuk untuk mengajar Kalkulus hari ini.

Entah sejak kapan panggilan ustadzah itu mulai booming di kalangan mahasiswa disini,padahal aku juga masuk rohis sudah sejak dua tahun lalu, kenapa baru sekarang dipanggil begitu? Yang jelas, panggilan itu mulai mengusik hatiku sejak aku mengisi kajian pesantren ramadhan di sebuah sekolah SMA. Memang sih disana anak-anak itu memanggilku ustadzah, dan tidak menjadi masalah bagiku, karena yang lain juga dipanggil begitu. Tapi beberapa hari lalu, seorang mantan peserta pesantren ramadhan yang cukup akrab denganku menemuiku dikampus, karena ingin pinjam buku-buku islami. Ternyata walau pesantren ramadhan itu sudah berakhir, dia masih saja memanggilku dengan sebutan ustadzah, dan entah apakah penghuni kampus mendengar obrolan kami waktu itu sampai akhirnya mereka ikut-ikutan memanggilku ustadzah.

Sungguh,panggilan itu terasa menjadi beban buatku, bukan tidak suka sebenarnya, tapi yaitu tadi. Sekarang tiap aku melewati segerombolan mahasiswa iseng, mereka akanselalu menyapaku dengan panggilan ustadzah, bukan lagi nama asliku.

"Bukannya panggilan itu bagus buat mendukung dakwah kamu? Daripada mereka manggil kamu teroris" kata Dina, teman sesama rohis menyelutuk.

"Ga semudah itu Din, andai saja mereka menyapa dengan santun mungkin aku tidak akan sekesal ini, aku tahu mereka itu sedikit meledek aku" kataku lagi

"Jangan su'udzon begitu ah, justru itu malah menjadi kunci untuk membuka komunikasi yang baik antara kamu sama mereka, mungkin mereka cuma cari perhatian aja supaya kamu ngasih pencerahan juga sama mereka" jawab Dina sambil membereskan buku dan majalah koleksi mushola kampus.

Bahkan Dina yang bijaksana itu pun tidak bisa memahami kegundahanku dengan panngilan itu. Heran, kenapa juga aku mempermasalahkan ini ya? ahh Rabbi, hanya Engkauyang tahu segala yang berkecamuk dalam dadaku..

Akhirnya setelah beberapa hari aku tidak bisa tenang, dan membuat konsentrasiku pecah,aku memutuskan untuk menemui mba Sarah, guru ngajiku selama ini. Mungkin dengan beliau aku akan bisa lebih menumpahkan perasaanku. Dan besok hari Sabtu aku janjian dengan beliau, kebetulan juga hari itu kuliah dikosongkan. Sampai dirumah mba Sarah, aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Agak lama pintu itu akhirnya dibuka oleh mba Sarah.

"Waalaikumsalam,oh dek Farah, ayo dek, masuk aja, mba udah tungguin dari tadi" sambut mba Sarah dengan ramah dan mengajakku ngobrol diruang tamu. Sejenak aku terpukau dengan suasana rumah mba Sarah, rumah yang tidak terlalu besar, tidak juga kecil tapi membuat nyaman dan rileks bagi penghuninya. Untung saja suami beliau sedang mengajak putra mereka jalan-jalan, jadi bisa lebih leluasa curhat dengan mbaSarah.

"Jadi apa yang mau kamu ceritakan sama mba?" tanya mba Sarah sambil menyuguhkan secangkir teh dan cemilan padaku.

Maka mengalirlah ceritaku pada mba Sarah, mulai dari aku mengisi kajian ramadhan di SMA, sampai akhirnya tentang panggilan ustadzah itu. Mba Sarah terlihatmenyimak dengan ekpresi wajah yang tetap tenang.

"Jadi kamu merasa terbebani dengan panggilan itu, dan alasanya?" tanya mba Sarah begitu aku selesai bercerita awal mulanya.

"Sayacuma merasa panggilan itu sangat membutuhkan tanggungjawab yang besar mba,seolah mereka akan sangat menuntut saya untuk terus menjadi manusia yang baik layaknya malaikat tanpa dosa. Dan saya belum siap untuk itu, sekarang saja saya masih berproses menjadi manusia yang baik, tapi bukan tanpa cela. Saya memangsangat menjaga agar tidak melakukan dosa maksiat, tapi sebesar apapun kebaikan dan ibadah yang saya lakukan, peluang untuk melakukan dosa itu masih terbuka lebar kan mba? Bukankah syaitan tidak akan berhenti menggoda sekalipun manusiaitu sudah mencapai keshalihan yang hampir sempurna?" kali ini nada suaraku sudah mulai merendah dan terdengar sesenggukan menahan tangis.

"Saya hanya takut, jika suatu hari nanti tiba-tiba saya melakukan sebuah kekhilafan,maka seketika itu pula saya akan jatuh dan semua orang akan mencela saya habis-habisan. Dan dampaknya, mereka akan menganggap bahwa orang-orang yang akhlaknya baik pun tak ada bedanya dengan mereka, sama saja munafik dan pembuat dosa. Ujung-ujungnya mereka tidak akan tertarik lagi menerima dakwah yang diberikan oleh para da'i, aktivis dakwah, bahkan ulama sekalipun" kataku lagi.

"Mba bisa memahami apa yang kamu rasakan itu Farah, memang berat ketika secara tidaklangsung keberadaan kita dalam lingkungan dakwah di tuntut untuk sempurna kebaikannya. Karena secara tidak sadar pula mereka menjadikan kita sebagaiteladan dan cerminan. Terkadang mereka seolah terkurung pada satu pemahamanbahwa seorang aktivis dakwah adalah kumpulan malaikat yang tidak boleh ada cela" Mba Sarah menghela nafas sejenak untuk mengambil jeda kalimatnya.

"Lalu saya harus bagaiman mba? Apa harus saya umumkan pada teman-teman agar tidaklagi memanggil saya seperti itu" kataku sembari mencoba mencerna kata-kata mba Sarah barusan.

"Kamu tidak harus melakukan itu Farah, cobalah untuk tetap tenang dan jalani aktivitas seperti biasa. Hadapilah mereka dan anggaplah mereka sebagai objek dakwah kamu. Jikapun suatu hari nanti ternyata kamu melakukan sebuah kesalahan walau kecil sekalipun, kamu ga usah takut dengan dampak yang kamu uraikan tadi.Insya Allah, dakwah ini akan tetap menggema sekalipun tidak ada yang mau mendengarkan. Dan mba yakin, akan masih banyak orang yang sangat butuh dengan dakwah dan para penyerunya" jawab mba Sarah sambil tersenyum.

"Tetaplah fokus pada dakwah kamu, juga dakwah untuk dirimu sendiri. Anggap saja panggilan yang mereka berikan untukmu sebagai motivasi untuk terus memperbaiki kualitas keimanan dan keta'aan kamu sama Allah ya" lanjut mba Sarah lagi sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku menggangguk pelan dan menghapus airmata yang rupanya sedari tadi mengalir darimataku. Iya, apa yang dikatakan mba Sarah itu benar, kenapa aku harus sibuk mempermasalahkan ini sementara masih banyak hal dan amanah yang harus kuselesaikan. Jalani saja ini semua tanpa harus sibuk memikirkan hal-hal seperti itu, ahh...aku jadi malu pada diriku sendiri. Syukron ya Allah, kali ini aku kembali mendapat tarbiyah dariMu..
More aboutCerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah

Cerpen Islami

Cerpen Islami ~ Kumulan Cerpen berbagi sebuah cerpen islami yang berjudul "Teroris" . Cerpen yang mungkin banyak yang pro dan kontra, tetapi alangkah baiknya Sobat semua membacanya dahulu baru menyimpulkan . Berikut untuk Cerpen Islami " Teroris " :

Cerpen Islami

TERORIS (Manusia Suci yang Merdeka)

Duaarrr !!!

Suara ledakan itu cukup keras terdengar bahkan getarannya masih terasa di tempat aku bersembunyi sembari memegang sebuah remote kecil. Kulihat dengan pandangan yang samar karena di depan sana asap mengepul tebal, banyak orang berlarian sambil berteriak meminta pertolongan, mobil aparat dan ambulance pun tak lama datang ke lokasi. Setelah kupastikan semua sesuai rencana aku bergegas pergi dan kembali ke markas untuk memberikan laporan misi hari ini.

“ sebuah bom dengan daya ledakan cukup kuat meledak di sebuah pusat perbelanjaan kota, dilaporkan 5 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka, polisi belum bisa memastikan pelaku peledakan karena masih melakukan penyelidikan intensif, namun di duga pelaku berasal dari sebuah kelompok Islam garis keras yang ingin mengacaukan keamanan Negara” seorang reporter televisi memberitakan dengan wajah yang sangat tegang situasi terkini tentang bom yang meledak di sebuah pusat perbelanjaan, semua media elektronik menjadikan kasus peledakan ini sebagai berita utama. Seorang lelaki paruh baya yang sedang menonton televisi di depannya terlihat tersenyum puas sambil menepukkan kedua tangannya berkali-kali, demikian pula orang-orang disekitarnya, termasuk..aku.

“kerja yang bagus Rifki, perfect…saya bangga punya anak buah seperti kamu” kata lelaki itu padaku. Sesaat lelaki itu lalu berdiri dan berjalan menghampiriku, kemudian dia mengulurkan tangan dan memberi selamat padaku. Jabatan tangan itu kuterima dengan senyum tipis, mungkin karena aku masih tegang saat menjalankan misi tadi, padahal ini bukan misi pertamaku. Tak lama yang lain pun ikut menyalamiku sambil mengangkat minuman wisky sebagai tanda bersulang untuk keberhasilanku, dan kami pun larut dalam “kebahagiaan” itu.

Aku merasa sangat lelah hari ini, usai pesta aku langsung menuju kamar tidur untuk merebahkan diri. Tubuhku yang lelah ternyata tak bisa membuatku langsung tertidur, pikiranku melayang pada peristiwa hari ini tadi. Terbayang dalam benakku kepanikan orang-orang, teriakan histeris mereka sampai tangisan karena tewasnya beberapa orang. Kadang rasa bersalah itu pernah hinggap dihatiku, bahkan waktu pertama kali aku melakukannya, tubuhku terasa kaku dan aku mengalami insomnia selama berhari-hari. Tapi kata teman-teman disini, itu wajar karena ini adalah misi pertama, lama-lama nanti juga akan terbiasa. Lama kubiarkan pikiranku berpetualang kesana kemari, kubiarkan ia lelah sendiri sampai akhirnya aku tertidur pulas.

Berita di televisi hari ini masih seputar peristiwa peledakan bom beberapa hari yang lalu, namun kali ini perkembangan terbaru adalah tentang pelaku peledakan. Terlihat di sana, polisi menggiring beberapa orang laki-laki yang diduga pelaku teroris, namun penampilan mereka sangat jauh dari penampilan pelaku kriminal, berbaju gamis panjang dengan wajah yang sangat teduh, santun dan ditumbuhi beberapa lembar janggut tipis yang semakin menambah kesholehan mereka. Tampak wajah mereka sudah memar lebam seperti habis dipukuli, entahlah, tapi menurutku siapapun yang melihat keadaan mereka seperti itu pasti merasa kasihan, tapi tidak…terlihat banyak orang yang justru melihat dengan penuh kebencian, tak lama mereka menyoraki beberapa lelaki itu dengan sebutan TERORIS !! semua pemandangan di televisi itu justru membuat semua orang yang ada di ruangan ini tertawa lepas seperti telah meraih kemenangan besar, kecuali aku. Entahlah…bibirku ini begitu berat kurasa, jangankan untuk tertawa, tersenyum saja aku begitu sulit. Dan untuk kesekian kalinya…mereka menyorakiku sebagai bak seorang pahlawan yang baru memenangkan perang, aku hanya diam dan tersenyum simpul..tanpa makna.

***

Cuaca siang ini begitu menyengat, sejak peristiwa kemarin aku mendadak menjadi pendiam, padahal lautan pujian atas misi kemarin masih mengalir sampai sekarang. Aku berjalan kaki menyusuri kota, meski aku harus bertarung dengan banyaknya polusi udara. Aku berhenti di sebuah halte, sambil meminum air botol yang kubeli dari pedagang asongan. Tak jauh dari halte, terlihat anak-anak kecil yang sedang mengais rejeki, ada yang berdagang asongan, atau unjuk suara alias ngamen. Namun diantara mereka itu ada yang sangat menarik perhatianku, seorang anak sekitar umur 7 tahun bernyanyi dengan suara pas-pasan, suaranya yang agak cempreng di dukung oleh suara gemericik alat musik tutup botol, namun yang membuatku terhenyak adalah…kakinya hanya ada satu! Dengan salah satu tangan memangku tongkat penyangga, anak itu masih lincah menghampiri mobil dan motor pada saat lampu merah, jika lampu lalu lintas sudah berubah warna hijau, anak itu bergegas dengan setengah berlari menuju halte dan melanjutkan “konser tunggal”nya di depan calon penumpang bus. Tak lama anak itu lalu berjalan ke arahku, sembari duduk di bawah bangku tunggu, tangan kecilnya mengambil sebotol air mineral dan langsung meneguknya. Aku begitu tertarik pada sosok anak ini, sesaat dia menoleh ke arahku dan tersenyum polos.

“ capek ya dik habis ngamen?” tanyaku pelan. Anak itu sedikit kaget dengan sapaanku, tapi dibalasnya juga.

“ iya pak, suara saya udah mau habis, jadi istirahat dulu” jawabnya. Pandanganku beralih pada kakinya yang hanya ada sebelah, lama aku memperhatikan kakinya.

“ kaki saya memang tinggal satu pak, kena bom” katanya lirih. Seketika aku tersentak demi mendengar kata “bom” dari mulut anak kecil itu

“ bom?” tanyaku memastikan. Anak itu mengangguk pelan.

“kok bisa?” tanyaku dengan hati yang bergetar dan perasaan yang berguncang tidak karuan. Dan lalu mengalirlah cerita singkat dari anak kecil itu, sebuah peristiwa yang telah mengubah kehidupannya.

Semua berawal ketika Alif, nama anak itu, pergi ke sebuah mall di kota bersama orangtuanya. Alif begitu bahagia saat itu karena ini pertama kalinya ayahnya mengajaknya membeli sebuah tas sekolah baru di mall. Ayahnya sudah lama mengumpulkan uang untuk membelikan Alif tas sekolah yang bagus seperti teman-teman sekolahnya yang lain. Bertiga mereka berjalan menyusuri mall yang besar itu, wajah riang belum juga sirna dari wajah polos Alif, sampai akhirnya mereka mendapatkan sebuah tas yang sangat bagus tentu saja dengan harga yang lebih mahal daripada harga di pasar loak, langganan ayahnya. Setelah puas berkeliling mall, Alif dan orangtuanya memutuskan untuk pulang, namun tak lama mall itu seperti bergetar dan terdengar suara letusan yang sangat besar, tubuh Alif kecil terhempas dan ketika itu dia sudah tak tahu apa-apa lagi. Saat terbangun, Alif sudah berada di rumah sakit, disampingnya hanya ada si mbah…nenek satu-satunya. Dengan suara yang sangat pelan, Alif menanyakan keberadaan dan kondisi orangtuanya, si mbah hanya bisa menangis tersedu dan memberitahukan bahwa orangtuanya sudah meninggal dunia. Alif hanya bisa menangis meraung sambil memanggil ayah dan ibunya, saat dia hendak bangkit dari tempat tidurnya, dia merasa aneh, dia merasa ada yang hampa di bagian kakinya, segera di rabanya kakinya dan refleks Alif berteriak karena salah satu kakinya hilang!! Dokter dan perawat serta si mbah berusaha menenangkan Alif, sampai akhirnya Alif tak sadarkan diri.

“ sekarang saya tinggal berdua sama si mbah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mbah sudah terlalu tua untuk mencari uang, jadi saya lah yang berjuang sekarang” ucap Alif setelah mengakhiri cerita tragisnya.

Aku kembali diam, tak tahu bagaimana menanggapi cerita Alif, sedihkah atau bahagiakah? Yang terbayang saat ini adalah peristiwa beberapa bulan lalu, saat aku mendapat tugas untuk meledakkan sebuah mall, dan mall itu adalah tempat Alif dan orangtuanya dulu berbelanja!

Tanpa pamit, aku langsung berlari meninggalkan Alif yang bingung dengan sikapku, kali ini langkahku dengan cepat menuju markas dan tanpa peduli seruan teman-teman, aku menuju kamar dan menguncinya dengan rapat. Kubiarkan diriku dikuasai amarah, hampir semua apa yang ada di kamar itu kulempar dengan cukup keras. Aku menuju kamar mandi dan membasuh wajahku, sesaat kulihat wajahku di cermin…dan yang kulihat wajah di depan cermin itu adalah wajah yang menyeramkan, wajah yang beringas dan tanpa aura kemanusiaan. Aku berteriak dan menamparkan tanganku kearah cermin. Seketika mengalir darah segar menghiasi tanganku, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri saat ini, dan kemudian aku terduduk pasrah dan membasahi diriku dengan air….

“ tuhan…andai Kau bersikap adil padaku, aku tidak akan pernah melakukan ini, aku tidak akan pernah mengotori tanganku dengan darah orang lain” teriakku dengan keras..

Dan seolah kini di depanku terhampar sebuah layar besar dan layar itu memperlihatkan memori masa laluku….beberapa tahun silam…

Dulu hidupku bahagia, meski dalam kondisi kehidupan yang sangat sederhana. Aku mempunyai isteri yang sangat cantik dan seorang anak perempuan yang sangat manis. Walau gajiku sebagai kepala gudang sebuah perusahaan produk elektronik tak terlalu besar, tapi istri dan anakku tak pernah mengeluh. Hidup kami selalu dihiasi tawa dan canda, sampai awal kehancuran hidupku dimulai. Aku dipecat dari pekerjaanku, bukan karena adanya pengurangan tenaga kerja, tapi karna aku di fitnah! Aku dituduh menggelapkan beberapa barang perusahaan, padahal aku sama sekali tidak melakukannya, aku berusaha mengelak dari tuduhan dan membela diri, tapi tidak ada yang percaya. Aku akhirnya pasrah dan menerima saja nasibku, tapi tidak dengan istriku. Sejak di pecat, aku terus berusaha mencari pekerjaan mulai dari memasukkan lamaran ke perusahaan sampai bekerja serabutan, yang penting asap dapurku selalu mengepul. Lama-lama istriku bosan, dia yang dulu tidak suka keluar rumah tanpa aku atau seizinku, kini mulai berani sering meninggalkan rumah tanpa pamit bahkan sampai pulang malam. Mulanya aku berusaha mengerti bahwa istriku sedang stress, tapi sungguh aku tak pernah menyangka bahwa istriku sudah berani di antarkan pulang oleh laki-laki lain dengan mengendarai mobil mewah. Saat kutanya siapa lelaki itu, istriku tak mau menjawab dan ujung-ujungnya adalah pertengkaran hebat diantara kami. Puncaknya adalah saat istriku mengemas pakaiannya serta anak kami, dengan angkuhnya dia menyerahkan surat gugatan cerai padaku, dan setelah itu dia beserta anakku dijemput lelaki yang selama ini dekat dengannya. Tubuhku kaku saat itu, entah kemana kewarasanku sebagai suami dan seorang ayah! Aku membiarkan saja istri dan anakku dibawa orang lain.

Sejak itu hidupku tak terarah, aku yang dulu rajin sholat kini sudah berani mengacuhkan suara adzan yang selalu berkumandang lima kali sehari. Aku memutuskan untuk pergi, pergi tanpa tujuan, kupasarahkan saja kemana langkah kaki ini menuntunku. Aku merasa hidupku sudah hancur berkeping-keping, aku mulai menggugat Tuhan atas keadilanNya, aku muak dengan puji-pujian orang atas Tuhan, bagiku Tuhan itu pembohong besar! Sampai akhirnya aku bertemu orang-orang itu, saat pertama kali aku datang mereka menyambutku seolah aku adalah anggota keluarga yang sudah lama pergi dan kembali. Mereka memberiku kehidupan yang baru, mengajariku rasa kebersamaan, dan menuntunku untuk berani menjadi manusia tanpa aturan dari manapun, termasuk aturan Tuhan!

Ya…mereka menamakan kelompoknya sebagai “Manusia Suci yang merdeka”, mereka membuat aturan hidup sendiri, tanpa ada aturan ibadah, mereka adalah orang-orang atheis. Visi mereka adalah membebaskan manusia dari perbudakan ketuhanan, dan misi mereka adalah melenyapkan orang-orang yang sok suci yang selalu mengajak manusia untuk mencintai Tuhan. Salah satu strategi mereka adalah membuat bom, meledakkannya dan kemudian mengkambinghitamkan orang-orang yang sok suci itu. Awalnya aku tidak sepaham dengan mereka, tapi aku terus didoktrin dengan paham-paham mereka yang sebenarnya jauh dari logika, sampai akhirnya mereka berhasil mencuci otakku, dan misi pertamaku dulu adalah meledakkan sebuah gereja saat hari natal, dan benar saja, yang menjadi sasaran tuduhan adalah sekelompok pemuda lulusan sebuah pesantren. Pernah aku bertanya kenapa melenyapkan orang suci itu dengan membunuh orang lain, dan mereka hanya menjawab, sebuah perjuangan memerlukan pengorbanan. Sungguh, entah kemana hatiku sebagai manusia pergi, hidupku memang hancur, tapi apakah itu sehancur hidup korban-korban bom itu? Mereka kehilangan nyawa keluarga mereka, kehilangan masa depan, bahkan..oleh anak sekecil Alif! Tidak..cukup sudah! Aku sudah muak dengan semua ini!!

Aku baru tersadar setelah beberapa menit lalu terpaku dibawah pancuran air bersimbah darah, tanganku masih terluka, segera aku bergegas mencari selembar kain dan menutupi lukaku. Aku kembali pergi meninggalkan markas tanpa peduli panggilan teman-temanku, aku menuju halte dan kulihat Alif masih asyik bersenandung di depan kaca sebuah mobil mewah. Alif yang melihatku berhenti bernyanyi dan menghampiriku

“pak, bapak tadi kenapa, bapak baik-baik saja?” tanyanya polos. Aku melihatnya lama dan mengangguk pelan. Hanya ada satu pertanyaan yang ingin kutahu darinya

“ nak, apa kamu benci sama Tuhan karena Dia sudah mengambil orangtua kamu, dan menghilangkan satu kaki kamu? Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya. Alif terlihat takut, namun dijawabnya saja pertanyaanku

“ Tidak pak, ayah dulu pernah bilang bahwa Allah itu sayang sama semua makhluk. Allah tidak pernah menyakiti siapapun, apapun yang Dia lakukan itu pasti untuk kebaikan kita. Ayah juga selalu bilang, apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Allah, karna selama kita ta’at padaNya, saat Dia membuat kita menangis pun, itu karna Dia mencintai kita” jawab Alif dengan agak tenang. Entah kenapa kata-kata Alif seperti menyihirku, tanpa berkata apapun aku kembali berlari meninggalkan Alif yang masih bingung. Langkahku terhenti di sebuah mesjid, lama kupandangi mesjid itu, sudah berapa tahun tak pernah kuinjakkan kaki di tempat yang dulu sangat kubanggakan ini. aku kembali pasrah pada langkah kakiku, menuntunku ke tempat wudhu dan membasuh semua anggota tubuhku. Sesaat aku merasakan kesejukan yang sudah lama tak kurasakan, kubiarkan tubuhku terhempas dalam ruku’ dan sujud, kubebaskan air mataku mengalir membasahi sajadah.

“Tuhan, aku kembali padaMu, masihkah ada tempat untukku Tuhan?” tanyaku, hening…hanya ada aku dan Tuhan disana yang mungkin sedang melihat “kekalahan”ku. Lama aku berada disana sampai adzan Ashar berkumandang dan aku melakukan hal yang luar biasa, aku sholat berjamaah! Keluar dari mesjid, hanya damai dan tenang yang kurasakan. Aku sudah memutuskan sesuatu untuk memperbaiki semuanya. Menjelang malam aku baru pulang, teman-teman terlihat cemas pada keadaanku, mungkin karna sikapku yang aneh tadi. Aku hanya menyinggungkan seulas senyum dan langsung masuk kamar, disana sepanjang malam aku berkutat pada benda kecil yang terdengar jelas detaknya, di tiap sisinya dihiasi kabel-kabel kecil. Semua pekerjaanku selesai dini hari, sebelum melakukan hal terbesar dalam hidupku, aku kembali membasuh seluruh anggota tubuh dan terlena dalam sujud dan do’a.

“Ya Allah, aku tidak tahu apakah Engkau sudah menerimaku lagi sebagai hambaMu, tapi semoga apa yang akan kulakukan hari ini bisa menebus semua kesalahan dan kekeliruanku padaMu selama ini” doaku dengan air mata yang kembali berlinang. Aku memakai pakaian serba putih, kupasangkan benda kecil hasil rakitanku tadi malam di badanku dan kutupi dengan pakaian kemeja putih tebal. Dengan tenang aku melangkahkan kaki untuk sarapan bersama dengan teman-teman dan ketua kelompok “Manusia Suci yang merdeka”. Mereka menyambutku seperti biasa, dan aku pun membalasnya sapaan mereka. Beberapa terlihat heran dengan penampilanku saat ini, tapi tak ada yang berani bertanya atau curiga. Aku sudah semakin dekat dengan mereka, dan tak lama……duaaaarrrr!!
More aboutCerpen Islami